Jumat, 11 Mei 2012

Menaksir Kelimpahan Populasi dengan Metode Menangkap-Menandai-Menangkap Kembali (MMM)


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  LATAR BELAKANG
Di dalam penelitian ekologi seringkali seseorang perlu mendapatkan informasi besarnya populasi makhluk hidup di alam, baik di laboratorium, di lapangan seperti : hutan, pantai, rawa, dan sungai. Kerapkali pertanyaan pertama pertama yang harus dicari jawabannya ialah tentang beberapa kerapatan populasi, yaitu cacah individu di dalam satuan luas atau volume tertentu, atau cacah individu seluruh jenis populasi itu.
Tidak mungkin bagi kita untuk menghitung setiap individu yang terdapat di alam suatu populasi ataupun di dalam suatu komunitas. Dalam mempelajari populasi ataupun komunitas, biasanya dilakukan dengan cara mengambil sampel (contoh) atau sebagian kecil individu dari populasi atau komunitas tersebut, barulah dapat ditarik suatu kesimpulan tentang populasi atau tentang komunitas yang sedang dipelajari. Dalam penarikan contoh (sampling) harus menggunakan metode sampling yang tepat, sebab bila tidak hasil yang akan diperoleh akan bias (Heddy. 1986).
Tidak semua spesies hewan kelimpahan atau kerapatannya dapat ditentukan dengan metode pencacahan atau pencuplikan. Salah satu cara lain, khususnya yang digunakan terhadap hewan-hewan yang mobilitasnya tinggi ialah Metode-Menangkap-Menandai-Menangkap-Kembali (MMM atau CMR=Capture-Mark-Recapture). Dengan menggunakan metode ini, dapat diperkirakan kelimpahan  populasi hewan. Untuk itu, dilakukanlah percobaan di samping UP2B Universitas Riau, dengan menggunakan metode CMR untuk memperkirakan kelimpahan populasi hewan pada tempat tersebut.
1.2.  TUJUAN
Mahasiswa diharapkan dapat menerapkan metode Menangkap-Menandai-Menangkap Kembali untuk memperkirakan kelimpahan populasi hewan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Populasi diartikan sebagai suatu kumpulan kelompok makhluk yang sama spesies (atau kelompok lain yang individunya mampu bertukar informasi genetik), yang mendiami suatu ruang khusus, yang memiliki berbagai karakteristik yang walaupun paling baik digambarkan secara statistik, unik sebagai milik kelompok dan bukan karakteristik individu dalam kelompok itu (Odum. 1996).
Kepadatan populasi satu jenis atau kelompok hewan dapat dinyatakan dalam dalam bentuk jumlah atau biomassa per unit, atau persatuan luas atau persatuan volume atau persatuan penangkapan. Kepadatan pupolasi sangat penting diukur untuk menghitung produktifitas, tetapi untuk membandingkan suatu komunitas dengan komnitas lainnya parameter ini tidak begitu tepat. Untuk itu biasa digunakan kepadatan relatif. Kepadatan relatif dapat dihitung dengan membandingkan kepadatan suatu jenis dengan kepadatan semua jenis yang terdapat dalam unit tersebut. Kepadatan relatif biasanya dinyatakan dalam bentuk persentase (Soegianto. 1994).
Populasi ditafsirkan sebagai kumpulan kelompok makhluk yang sama jenis (atau kelompok lain yang individunya mampu bertukar informasi genetik) yang mendiami suatu ruangan khusus, yang memiliki berbagai karakteristik yang walaupun paling baik digambarkan secara statistik, unik sebagai milik kelompok dan bukan karakteristik individu dalam kelompok itu (Soegianto. 1994).
Ukuran populasi umumnya bervariasi dari waktu, biasanya mengikuti dua pola. Beberapa populasi mempertahankan ukuran poulasi mempertahankan ukuran populasi, yang relatif konstan sedangkan pupolasi lain berfluktasi cukup besar. Perbedaan lingkungan yang pokok adalah suatu eksperimen yang dirangsang untuk meningkatkan populasi grouse itu. Penyelidikan tentang dinamika populasi, pada hakikatnya dengan keseimbangan antara kelahiran dan kematian dalam populasi dalam upaya untuk memahami pada tersebut di alam (Heddy. 1986).
Tingkat pertumbuhan populasi yaitu sebagai hasil akhir dari kelahiran dan kematian, juga mempengaruhi struktur umur dan populasi Suatu populasi dapat juga ditafsirkan sabagai suatu kelompok yang sama. Suatu populasi dapat pula ditafsirkan sebagai suatu kolompok makhuk yang sama spesiesnya dan mendiami suatu ruang khusus pada waktu yang khusus. Populasi dapat dibagi menjadi deme, atau populasi setempat, kelompok-kelompok yang dapat saling membuahi, satuan kolektif terkecil populasi hewan atau tumbuhan. Populasi memiliki beberapa karakteristik berupa pengukuran statistik yang tidak dapat diterapkan pada individu anggota populasi. Karakteristik dasar populasi adalah besar populasi atau kerapatan (Tarumingkeng. 1994).
Dalam mempelajari kelimpahan suatu spesies di satu lokasi tunggal maka idealnya perlu tahu tentang kondisi fisika kimia, tingkat sumber daya yang dapat diperoleh, daur hidup makhluk itu, pengaruh kompetitor, pemangsa, parasit dan sebagainya.Perbadaan-perbedaan dalam populasi mungkin dapat dikorelasikan dengan cuaca, jenis tanah, cacah predator, dan sebagainya.Suatu populasi dapat dirubah oleh kelahiran, kematian dan migrasi.Suatu nilai ekstrim besarnya populasi dapat mencerminkan tingkat saat terakhir ketika berkurang, waktu yang dilampaui untuk tumbuh kembali dan laju pertumbuhan intrinsik selama waktu tersebut. Suatu nilai ekstrim lain besarnya populasi  juga dapat mecerminkan ketersediaan beberapa sumber daya yang menjadi kendala perluasan populasi lebih lanjut yang dibatasi oleh laju kelahiran, bertambahnya laju kematian atau stimulasi migrasi (Soetjipta. 1993).
Kelimpahan jenis serangga sangat ditentukan oleh aktivitas reproduksinya yang didukung oleh kondisi lingkungan yang sesuai dan tercukupinya kebutuhan sumber makanannya. Kelimpahan dan aktivitas reproduksi serangga di daerah tropik sangat dipengaruhi oleh musim, karena musim berpengaruh terhadap ketersediaan bahan makanan dan kemampuan hidup serangga yang secara langsung dapat mempengaruhi kelimpahan. Setiap ordo serangga mempunyai respon yang berbeda terhadap perubahan musim dan iklim. (Subahar, 2004)
Selain itu, menurut Boror (1954), kelimpahan populasi serangga pada suatu habitat ditentukan oleh adanya keanekaragaman dan kelimpahan sumber pakan maupun sumber daya lain yang tersedia pada habitat tersebut.  Serangga menanggapi sumber daya tersebut dengan cara yang kompleks.  Keadaan pakan yang berfluktuasi secara musiman akan menjadi faktor pembatas bagi keberadaan populasi hewan di suatu tempat oleh adanya kompetisi antar individu.   Bila mana sejumlah organisme bergantung pada sumber yang sama, persaingan akan terjadi. Persaingan demikian dapat terjai antara anggota-anggota spesies yang berbeda (persaingan interspesifik) atau antara anggota spesies yang sama (persaingan intraspesifik). Persaingan dapat terjadi dalam mendapatkan makanan atau ruang. Spesies yang bersaing untuk suatu sumber tertentu tidak perlu saling mengacuhkan. Organisme yang saling mirip cenderung menempati habitat yang sama dan membuat kebutuhan yang sama atas lingkungan serta memodifikasi lingkungan dengan cara yang sama. Persaingan diantara hewan sering kali tidak langsung, karena daya geraknya. Tidaklah umum bagi hewan bersaing untuk sumber yang sama dan melanjutkan permusuhan langsung yang menyebabkan pesaing cedera. Persaingan intraspesifik pada hewan bertambah sering bila populasi berkembang dan rapatannya melebihi tingkat optimal (Michael. P, 1991).
Kerapatan populasi merupakan ukuran populasi dalam hubungannya dengan satuan ruang. Biasanya dinyatakan dengan banyaknya individu atau biomasa populasi persatuan luas atau volume. Untuk mengetahui jumlah individu suatu populasi hewan di suatu tempat tertentu ada berbagai cara penaksiran yang dapat dilakukan. Salah satunya adalah menggunakan metode menangkap-menandai-melepas-menangkap ulang (CMRR). Metode ini umum diterapkan pada jenis-jenis hewan yang mobile (bergerak).
Metode MMM, merupakan metode yang sudah populer digunakan untuk menduga ukuran populasi dari suatu spesies hewan yang bergerak cepat, seperti ikan, burung atau mamalia kecil. Metode ini dikenal ,juga sebagai metode Lincoln-Peterson berdasarkan nama penemunya.
Metode ini pada dasarnya adalah menangkap sejumlah individu dari suatu populasi hewan yang akan dipelajari. Individu yang ditangkap itu diberi tanda dengan tanda yang mudah dibaca atau diidentikasi, kemudian dilepaskan kembali dalam periode waktu yang pendek (umumnya satu hari). Setelah beberapa hari (satu atau dua minggu), dilakukan pengambilan (penangkapan) kedua terhadap sejumlah individu dari populasi yang sama. Dari penangkapan kedua ini, lalu diidentikasi individu yang bertanda yang berasal dari hasil penangkapan pertama dan individu yang tidak bertanda dari hasil penangkapan kedua.
Adapun cara menandai hewan bermacam-macam, tergantung spesies hewan yang diteliti, habitatnya (daratan, perairan), lama periode pengamatan, dan tujuan studi. Namun, dalam cara apapun yang digunakan, perlu diperhatikan syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Tanda yang digunakan harus mudah dikenali kembali dan tidak ada yang hilang atau rusak selama periode pengamatan.
2.      Tanda yang digunakan tidak mempengaruhi atau mengubah perilaku aktivitas dan peluang hidup.
3.      Setelah diberi penandaan hewan-hewan itu harus dapat berbaur dengan individu-individu lain didalam populasi.
4.      Peluang untuk ditangkap kembali harus sama bagi individu-individu yang bertanda maupun tidak (Anonimus. 2008).
Rumus-rumus perhitungan metode MMM, apabila :
M    : Jumlah individu yang ditandai dan dilepaskan kembali pada periode pencuplikan ke-1
n     : Jumlah total yang bertanda maupun yang tidak bertanda, pada periode pencuplikan ke-2
m    : Jumlah individu bertanda yang tertangkap kembali pada periode penangkapan ke-2
N    : Jumlah individu di alam/ dalam populasi



/BAB III
METODE PERCOBAAN
3.1.  WAKTU DAN TEMPAT
Praktikum ini dilakukan pada hari Jumat, tanggal 13 April 2012, dengan lokasi di samping UP2B Universitas Riau.
3.2.  ALAT DAN BAHAN
Alat :
-          Kantong plastik
-          Spidol
-          Termo-higrometer
-          Insectnet
-          Alat tulis

3.3.  CARA KERJA
1)      Sediakan alat penangkap hewan dan alat penanda (misalnya spidol).
2)      Pada pagi hari (periode pencuplikan ke-1) dilakukan penangkapan sejumlah individu. Tandai bagian dorsal dengan spidol berupa bintik kecil, lalu lepaskan. Lakukan penangkapan-penandaan dan pelepasan hewan-hewan itu dengan hati-hati, jangan sampai ada hewan yang terjepit, luka dan mati. Catat jumlah individu yang ditangkap, ditandai dan dilepaskan itu. Catat pula seandainya ada yang mati atau luka akibat perlakuan.
3)      Pada pencuplikan ke-2 (10 menit setelah pencuplikan ke-1) dilakukan lagi penangkapan dengan cara yang serupa seperti pada pencuplikan ke-1. Hitung berapa jumlah individu total yang tertangkap, yang bertanda maupun yang tidak bertanda, lalu lepaskan lagi semuanya.
4)      Isikan semua hasil pencuplikan pada lembar data.



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.  HASIL PENGAMATAN
Deskripsi area         : Di samping UP2B, dekat waduk UR. Area tersebut banyak ditumbuhi rerumputan dan pohon akasia.
Suhu                        : 28 °C
Tabel 1. Pencuplikan hewan
No
Lokasi
Jenis hewan
Pencuplikan
N
Var N
1
2
Tanda
Tidak
1
Samping UP2B
Capung Merah
6
0
2
18
72
2
Capung Kuning
6
0
2
18
72
3
Capung Hijau
2
0
2
6
8
4
Capung Raksasa
0
0
1
0
0
5
Jangkrik
2
0
1
4
2,67
6
kupu - kupu
0
0
1
0
0
7
Spesies A
1
0
0
0
0

4.2.  PEMBAHASAN
Berdasarkan praktikum yang dilakukan di lingkungan samping UP2B Universitas Riau, di dapatkan hasil bahwa jenis populasi dengan kelimpahan terendah adalah populasi capung raksasa, kupu-kupu, dan spesies A. Hal ini dapat dilihat pada proses pencuplikan, tidak ditemukan sama sekali jenis capung raksasa dan kupu-kupu, namun pada proses pencuplikan kembali diperoleh 1 capung raksasa dan kupu-kupu.
Menurut Maramis (2005), Besarnya populasi di alam maupun kelimpahan populasi serangga pada suatu habitat ditentukan oleh adanya keanekaragaman dan kelimpahan sumber pakan maupun sumber daya lain yang tersedia pada habitat tersebut. Serangga menanggapi sumber daya tersebut dengan cara yang kompleks. Keadaan pakan yang berfluktuasi secara musiman akan menjadi faktor pembatas bagi keberadaan populasi hewan di suatu tempat oleh adanya kompetisi antar individu. Iklim, curah hujan dan faktor makanan merupakan faktor yang sangat menentukan bagi kelangsungan hidup serangga serta mempunyai pengaruh besar pada laju perkembangan populasi serangga.
Selain itu, hal-hal lain yang perlu diperhatikan adalah waktu pencuplikan. Praktikum dilaksanakan pada pukul 09.00 WIB dengan kondisi suhu cukup tinggi dan kelembapan yang rendah. Perlu diingat bahwa jenis-jenis serangga seperti kupu-kupu dan capung merupakan hewan-hewan yang aktif pada siang hari. Maka kemungkinan sedikitnya jumlah serangga bertanda yang tertangkap kembali pada penangkapan kedua adalah dikarenakan serangga-serangga di lokasi pencuplikan/penangkapan sedang dalam kondisi aktif mencari sumber-sumber makanan ke tempat lain sehingga mobilitasnya sangat tinggi.
Kelimpahan dan aktivitas reproduksi serangga di daerah tropik sangat dipengaruhi oleh musim, karena musim berpengaruh terhadap ketersediaan bahan makanan dan kemampuan hidup serangga yang secara langsung dapat mempengaruhi kelimpahan. Setiap ordo serangga mempunyai respon yang berbeda terhadap perubahan musim dan iklim (Subahar. 2004).






BAB V
PENUTUP
5.1.  KESIMPULAN
Berdasarkan pengamatan yang kami lakukan didapatkan kesimpulan bahwa:
ü  Kelimpahan atau kerapatan populasi hewan dapat ditentukan dengan metode pencacahan atau pencuplikan
ü  Salah satu metode yang digunakan untuk memperkirakan kelimpahan populasi hewan yang mobilitasnya tinggi adalah dengan Metode-Menangkap-Menandai-Menangkap-Kembali (MMM atau CMR=Capture-Mark-Recapture) yang ditemukan oleh Peterson dan Lincoln.
ü  Serangga yang diperoleh pada metode ini adalah capung merah,capung kuning, capung hijau, capung raksasa, jangkrik, kupu-kupu dan spesies A.
ü  Umumnya nilai kelimpahan populasi serangga dan mobilitas serangga di lokasi penangkapan belakang UP2B memiliki nilai yang besar karena sedikit sekali serangga yang ditandai yang dapat tertangkap kembali pada penangkapan kedua.
ü  Sulitnya menangkap kembali serangga yang telah ditandai pada penangkapan kedua karena serangga sedang berada pada kondisi aktifnya.
ü  Kelimpahan populasi serangga ditentukan oleh daya reproduksinya, kelimpahan sumber pakan dan faktor-faktor lingkungan seperti iklim dan suhu.
5.2.  SARAN
Dalam melakukan percobahan, hendaknya diperhatikan waktu pencuplikannya, sehingga kita dapat mengetahui berapa besar kerapatan atau kelimpahan populasi dengan tepat.




DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2008. Menaksir Kelimpahan Populasi Dengan Metode Menangkap-Menandai-Menangkap Kembali (MMM). www.indonesianbiodiversity.com. Diakses pada 18 April 2012.
Heddy, Suwasono. 1986. Pengantar Ekologi. CV Rajawali.Jakarta.
Maramis, Redsway. 2005. Kontribusi dari Berbagai Spesies Parasitoid Generalis yang Berasal dari Serangga Inang Erionota thrax (L.)(Lepidoptera : Hesperiidae) pada Habitatnya. Departemen Biologi ITB. Bandung.
Michael P. 1991. MetodeEekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. UI Press. Jakarta.
Odum, E. P. 1996. Dasar – Dasar Ekologi. Terjemahan oleh T. Samingan. Gadjah Mada Press. Yogyakarta
Soegianto, Agoes. 1994Ekologi Kuantitatif. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya.
Soetjipta. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Yogyakarta
Tarumingkeng, R. C. 1994Dinamika Populasi Kajian Ekologi KuantitatifPustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Subahar, T. 2004. Keanekaragaman Serangga pada Bentang Alam yang Berbeda di Kawasan Gunung Tangkuban Parahu. Konferensi Nasional Konservasi Serangga, Bogor 2007

PENGUKURAN FAKTOR FISIKA-KIMIA SERTA PENCUPLIKAN BIOTA HEWAN AKUATIK DI DANAU KAMPUS BINAWIDYA UNIVERSITAS RIAU


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Di alam terdapat berbagai komponen hayati dan non-hayati yang saling mempenagruhi dan tidak terpisahkan satu sama lain. Komponen-komponen tersebut membentuk suatu sistem ekologi atau ekosistem. Dalam sistem ekologi, suatu organisme tidak dapat berdiri sendiri. Untuk kelangsungan hidupnya, suatu organisme akan bergantung pada kehadiran organisme lain dan sumber daya alam di sekitarnya.
Di ekosistem perairan terdapat berbagai jenis biota akuatik. Mereka selalu hidup berkelompok membentuk komunitas yang saling berhubungan secara kompleks dan memiliki respon yang berbeda terhadap lingkungan. Biota akuatik merupakan kelompok biota, baik hewan maupun tumbuhan yang sebagian atau seluruh hidupnya berada di perairan.
Jika kita ingin mencari suatu spesies hewani tertentu, maka kita harus mengetahui tempat hidupnya. Khususnya spesies yang hidup di perairan dapat digolongkan menurut bentuk kehidupan atau kebiasaan hidupnya, yaitu: Plankton, organisme yang melayang-layang di dalam air dan gerakannya kurang lebih tergantung pada arus. Beberapa organisme zooplankton ada yang menunjukan gerakan berenang yang aktif yang membantu mempertahankan posisi vertikal. Benthos : organisme yang melekat atau sedang beristirahat pada dasar perairan atau yang hidup di dalam sedimen di dasar perairan. Periphyton : organisme baik hewan atau tumbuhan yang melekat di dalam air atau permukaan lain yang ada di atas dasar perairan. Nekton : organisme yang mampu berenang serta dapat menentukan arah sesuai dengan kehendak, dengan demikian dapat menghindari diri dari penangkapan atau memburu mangsa. Neuston : organisme yang berenang atau sedang beristirahat di permukaan air (Suwondo, 2012).
Berdasarkan latar belakang diatas, mengingat pentingnya peranan biota perairan dalam kelangsungan hidup dan keseimbangan ekosistem perairan maka dilakukan kegiatan praktikum lapangan tentang “Pengukuran Faktor Fisika- Kimia dan Pencuplikan Biota Hewan Aquatik di Danau Kampus Binawidya Universitas Riau.
1.2.  Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah keadaan faktor fisika dan kimia air di perairan Danau Kampus Binawidya Universitas Riau?
2.    Bagaimanakah struktur komunitas biota air Danau Kampus Binawidya Universitas Riau?
1.3.  Tujuan
1.    Untuk mengetahui faktor fisika- kimia lingkungan akuatik Danau Kampus Binawidya Universitas Riau.
2.    Untuk mengetahui struktur komunitas biota air Danau Kampus Binawidya Universitas Riau.
1.4.  Manfaat
1.    Memberikan pengetahuan bagi penulis untuk melakukan pengukuran faktor fisika dan kimia.
2.    Memberikan pengetahuan untuk melakukan pencuplikan biota air


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.  Faktor Fisika-Kimia di Lingkungan Akuatik
Faktor yang menentukan distribusi dari biota air adalah sifat fisik-kimia perairan. Organisme yang cocok dengan kondisi sifat fisik-kimia tersebutlah yang akan mampu bertahan hidup (Krebs, 1978). Penyebaran jenis dan hewan akuatik ditentukan oleh kualitas lingkungan yang ada seperti sifat fisika, kimia, biologisnya (Odum, 1971). Whitton (1975) menambahkan bahwa kehidupan ikan disuatu perairan dipengaruhi oleh volume air mengalir, kecepatan arus, temperatur, pH dan konsentrasi oksigen terlarut. Faktor yang membedakan kondisi fisika-kimia dari setiap bagian perairan terdiri dari:
2.1.1. Suhu
Suhu air merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian karena dapat dimanfaatkan untuk mengkaji gejala-gejala fisika dalam laut dan juga dalam kaitannya dalam kehidupan hewan, bahkan juga untuk kajian meteorology. Suhu air di permukaan laut di Indonesia umumnya berkisar 23 - 31° C. Suhu air di pantai biasanya sedikit lebih tinggi dibandingkan suhu di lepas pantai. Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari (Nontji, 1993).
Pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas didalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem airsangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut hukum Van’t Hoffs kenaikan temperatur sebesar 10 oC (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisma sebesar 2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisma akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat (Barus, 2004).
Suhu perairan dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang masuk kedalam air. Suhu selain berpengaruh terhadap berat jenis, viskositas dan densitas air, juga berpengaruh terhadap kelarutan gas dan unsur-unsur dalam air. Sedangkan perubahan suhu dalam kolom air akan menimbulkan arus secara vertikal. Secara langsung maupun tidak langsung, suhu berperan dalam ekologi dan distribusi plankton baik fitoplankton maupun zooplankton. Suhu mempunyai efek langsung dan tidak langsung terhadap fitoplankton. Efek langsung yaitu toleransi organisme terhadap keadaan suhu, sedangkan efek tidak langsung yaitu melalui lingkungan misalnya dengan kenaikan suhu air sampai batas tertentu akan menurunkan kelarutan oksigen (Apridayanti, 2008).
2.1.2. Derajat Keasaman air (pH)
Derajat keasaman berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan hewan dan tumbuhan air serta mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia (Effendi, 2003). Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi serta dapat meningkatkan konsentrasi ammonia yang bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2002).
2.1.3. Derajat Kecerahan Air
Penetrasi cahaya sering kali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air karena sifat air di estuari mengandung sejumlah besar partikel dalam suspensi yang sering di sebut dengan kekeruhan. Perairan estuari yang kekeruhannya tinggi, produktivitasnya akan rendah. Hal ini mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis karena penetrasi cahaya matahari terhalang oleh partikel-partikel yang disebabkan oleh kekeruhan tersebut. Terganggunya proses fotosintesis menyebabkan fungsi utama fitoplankton sebagai produsen primer, pangkal rantai makanan dan fundamen yang mendukung kehidupan seluruh biota di estuari menjadi terganggu, sehingga kehidupan seluruh biota juga akan terancam (Nontji, 1993).


2.1.4. Penentuan Kadar O2 terlarut
Pada perairan yang terbuka, oksigen terlarut berada pada kondisi alami, sehingga jarang dijumpai kondisi perairan terbuka yang miskin oksigen. Walaupun pada kondisi terbuka, kandungan oksigen perairan tidak sama dan bervariasi berdasarkan siklus, tempat dan musim. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian, musiman, pencampuran massa air, pergerakan massa air, aktifitas fotosintesa, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air (Effendi, 2003).
Variasi oksigen terlarut dalam air biasanya sangat kecil sehingga tidak menggangu kehidupan ikan (Brotowidjoyo, 1993). Keberadaan oksigen di perairan sangat penting terkait dengan berbagai proses kimia biologi perairan. Oksigen diperlukan dalam proses oksidasi berbagai senyawa kimia dan respirasi berbagai organisme perairan (Dahuri, 2004).
2.1.5. Penentuan Kadar CO2 bebas-terlarut
Oksigen merupakan faktor penting bagi kehidupan makro dan mikro organisme perairan karena diperlukan untuk proses pernafasan. Sumber oksigen terlarut di perairan dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer (sekitar 35%) dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Fluktuasi harian oksigen dapat mempengaruhi parameter kimia yang lain, terutama pada saat kondisi tanpa oksigen, yang dapat mengakibatkan perubahan sifat kelarutan beberapa unsur kimia di perairan (Apridayanti, 2008).
2.2.  Pencuplikan Biota Hewan di Lingkungan Akuatik
Ekosistem perairan tergenang adalah suatu ekosistem yang pada umumnya terdiri dari air tawar, dengan arus yang hanya sedikit atau bahkan tidak ada. Ekosistem ini memiliki residence time lebih besar daripada air mengalir. Air tergenang atau habitat lentik (berasal dari kata lenir yang berarti tenang) (Odum 1971).
Pada ekosistem ini, karena memiliki residence time besar maka lumpur dan materi yang lepas cenderung mengendap didasar, sehingga dasarnya lunak (Odum 1971). Semakin ke tengah, bagian dasarnya semakin lunak/lembut, sehingga perairan tergenang mempunyai batasan yang jelas yaitu batas perairan, pinggir perairan, permukaan air, dan endapan bawah ataupun sifat dasar perairan yang dapat berupa batuan, kerikil, ataupun lumpur.
Perairan tergenang (lentik), khususnya danau, mengalami stratifikasi secara vertikal akibat perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu. Selain itu, danau juga tidak memiliki arus, sehingga residence time-nya lebih lama. Perairan tergenang juga memiliki stratifikasi kualitas air secara vertikal yang tergantung pada kedalaman dan musim. Zonase perairan tergenang terbagi menjadi dua, yaitu zona benthos dan zona kolom air. Berdasarkan tingkat kesuburannya, perairan tergenang dapat dibedakan menjadi oligotrofik (miskin hara), mesotrofik (haranya sedang), eutrofik (kaya unsur hara) (Effendi 2003).
Berdasarkan kebiasaan hidupnya, biota akuatik dibedakan menjadi:
a)    Plankton, yaitu hewan atau tumbuhan (mikroorganisme) yang hidup melayang-layang dalam air. Plankton terdiri atas fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton contohnya: alga mikroskopis (Chlorophyccae, Cyanophyceae, Diatomae), sedangkan zooplankton contohnya: Protozoa serta hewanhewan lain golongan Porifera, Coelenterata, Crustacea, dan lain-lain.
b)    Nekton, yaitu hewan-hewan yang aktif berenang kian kemari umpama ikan, amfibi dan serangga air.
c)     Neuston, yaitu jenis hewan yang beristirahat atau berenang di permukaan air. Contohnya: beberapa jenis insekta yang berenang di dalam atau di permukaan air.
d)    Perifiton, yaitu baik tumbuhan maupun hewan yang melekat atau bertengger pada batang, daun, akar tumbuhan ataupada permukaan benda lain. Contohnya: hydra, ganggang dan tiram.
e)     Bentos, yaitu hewan-hewan yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup pada endapan. Contohnya: siput, kerang, dan cacing. (Anonymous, 2012)
2.2.1. Plankton
Secara sederhana plankton diartikan sebagai hewan dan tumbuhan renik yang terhanyut di laut.  Nama plankton berasal dari akar kata Yunani “planet” yang berarti pengembara. Istilah plankton pertama kali diterapkan untuk organisme di laut oleh Victor Hensen direktur Ekspedisi Jerman pada tahun 1889 (Charton dan Tietjin, 1989).
Plankton terdiri dari dua kelompok besar organisme akuatik yang berbeda yaitu organisme fotosintetik atau fitoplankton dan organisme non fotosintetik atau zooplankton.
2.2.1.1.     Fitoplankton
Fitoplankton adalah organisme yang hidup melayang-layang di dalam air, relatif tidak memiliki daya gerak, sehingga eksistensinya sangat dipengaruhi oleh gerakan air seperti arus, dan lain-lain (Odum 1971).  Menurut Reynolds (1984), fitoplankton yang hidup di air tawar terdiri dari tujuh kelompok besar filum, yaitu: Cyanophyta (alga biru), Cryptophyta, Chlorophyta (alga hijau), Chrysophyta, Pyrrhophyta (dinoflagellates), Raphydophyta, dan Euglenophyta.
Setiap jenis fitoplankton yang berbeda dalam kelompok filum tersebut mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap kondisi perairan, sehingga 9 komposisi jenis fitoplankton bervariasi dari satu tempat ke tempat lain (Welch, 1952).
Menurut Welch (1952), plankton air tawar dibedakan menjadi limnoplankton dan rheoplankton.  Limnoplankton adalah plankton yang hidup di perairan tergenang, sedangkan rheoplankton adalah plankton yang hidup di perairan mengalir. Beberapa faktor yang mempengaruhi distribusi kelimpahan fitoplankton dalam suatu perairan adalah arus, kandungan unsur hara, predator, suhu, kecerahan, kekeruhan, pH, gas-gas terlarut,  maupun kompetitor. 
2.2.1.2.     Zooplankton
Zooplankton merupakan plankton hewani yang terhanyut secara pasif karena terbatasnya kempuan bergerak. Berbeda dengan fitoplankton , zooplankton hampir meliputi seluruh filum hewan mulai dari protozoa (hewan bersel tunggal) sampai filum Chordata (hewan bertulang belakang).
2.2.2. Periphyton
Perifiton adalah komunitas organisme yang hidup di atas atau sekitar substrat yang tenggelam.  Substrat tersebut dapat berupa batu-batuan, kayu, tumbuhan air yang tenggelam, dan kadangkala pada hewan air (Odum 1971).
Menurut Weitzel (1979), perifiton terdiri dari mikroflora yang tumbuh pada semua substrat tenggelam.  Pada umumnya perifiton di perairan mengalir terdiri dari diatom, (Bacillariophyceae), alga biru berfilamen (Myxophyceae), alga hijau berfilamen (Chlorophyceae), bakteri atau jamur berfilamen, protozoa, dan rotifera (tidak banyak pada perairan tidak tercemar), serta beberapa jenis serangga (Welch 1952).  Berdasarkan tipe substrat  tempat menempelnya, perifiton dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a)    Epilithic, perifiton yang menempel pada batu.
b)   Epipelic, perifiton yang menempel pada permukaan sedimen.
c)    Epiphytic, perifiton yang menempel atau hidup pada permukaan daun atau batang tumbuhan.
d)   Epizoic, perifiton yang menempel pada permukaan tubuh hewan.
e)    Epidendritic, perifiton yang menempel pada kayu.
f)    Epipsamic, perifiton yang menempel pada permukaan pasir
2.2.3. Benthos
Bentos adalah organisme yang hidup di dasar perairan (substrat) baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang. Bentos hidup di pasir, lumpur, batuan, patahan karang atau karang yang sudah mati. Substrat perairan dan kedalaman mempengaruhi pola penyebaran dan morfologi fungsional serta tingkah laku hewan bentik.Hal tersebut berkaitan dengan karakteristik serta jenis makanan bentos.
Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida. Klasifikasi benthos menurut ukurannya : Makrobenthos merupakan benthos yang memiliki ukuran lebih besar dari 1 mm (0.04 inch), contohnya cacing, pelecypod, anthozoa, echinodermata, sponge, ascidian, and crustacea. Meiobenthos merupakan benthos yang memiliki ukuran antara 0.1 - 1 mm, contohnya polychaete, pelecypoda, copepoda, ostracoda, cumaceans, nematoda, turbellaria, dan foraminifera. Mikrobenthos merupakan benthos yang memiliki ukuran lebih kecil dari 0.1 mm, contohnya bacteri, diatom, ciliata, amoeba, dan flagellata (Anonymous, 2012).




BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.  Waktu dan Tempat
Kegiatan survey lapangan ini dilakukan pada 04 April 2012 di Danau Kampus Binawidya Universitas Riau dan sampel yang ditemukan diidentifikasi di Laboratorium Pendidikan Biologi Universitas Riau.
3.2.  Metode Penelitian
3.2.1. Pengumpulan Data
A.  Alat dan Bahan
1.    Faktor fisika
a.    Pengukuran Suhu Air
1)        Termometer
2)        Botol cuplikan/botol film
b.   Pengukuran Derajat Keasaman (pH) Air
1)   Kertas indicator universal dengan loncatan skala kecil 0,2 atau 0,5
c.    Pengukuran Derajat Kecerahan Air
1)   Keping Secchi, yang merupakan suatu alat berupa kepingan bulat yang terbuat dari logam atau plexxing glass yang bagian atasnya terdiri dari 4 sektor yang sama, berwarna putih dan hitam selang- seling.
2.    Faktor Kimia
a.    Penentuan Kadar Oksigen Terlarut
1)   DO meter.
b.   Penentuan Kadar CO­­2  bebas terlarut
1)   Larutan NaOH
2)   Indikator fenolftalein
3.    Struktur Komunitas Biota Air
a.    Plankton
1)   Ember plastik berukuran 10 liter
2)   Planktonet no. 25 yang digunakan pada saat penyaringan plankton
3)   Botol film untuk tempat meletakkan sampel plankton
4)   Mikroskop
5)   Cover glass
6)   Object glass
7)   Pipet tetes
8)   Tissue
9)   Larutan fornalin 4 % untuk pengawetan sampel plankton.
b.   Periphython
1)   Botol film untuk tempat meletakkan sampel plankton
2)   Mikroskop
3)   Cover glass
4)   Object glass
5)   Pipet tetes
6)   Tissue
7)   Larutan fornalin 4 % untuk pengawetan sampel periphython.
c.    Benthos
1)   Plastik 2 kg untuk tempat meletakkan sampel periphython
2)   Mikroskop
3)   Cover glass
4)   Object glass
5)   Pipet tetes
6)   Tissue
7)   Larutan fornalin 4 % untuk pengawetan sampel benthos.
B.  Prosedur Penelitian
Adapun jenis metode yang dipakai dalam praktikum ini adalah metode survey, yang mana data yang didapat diperoleh langsung dari lapangan.
C.  Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel
Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive random sampling, yaitu penetapan stasiun didasarkan atas perkiraan aktifitas yang terdapat sepanjang Danau Kampus Binawidya Universitas Riau. Lokasi pengambilan sampel ditetapkan menjadi 3 stasiun pada masing-masing stasiun ditentukan tiga titik pengambilan sampel yaitu di ujung danau, pertengahan dan bagian pangkal.
3.2.2. Parameter
Adapun yang menjadi parameter pada pencuplikan hewan biota di lingkungan akuatik adalah:
1)        Keanekaragaman
2)        Kemerataan
3)        Kekayaan jenis
4)        Dominansi
Sedangkan yang menjadi parameter pada pengukuran faktor fisika-kimia adalah:
1)        Suhu
2)        pH
3)        Kecerahan air
4)        Kadar O2
5)        Kadar CO2
3.3.  Analisis Data
3.3.1.      Indeks Keanekaragaman Jenis
Untuk melihat keanekaragaman jenis plankton, periphyton dan benthos digunakan indeks keanekaragaman dengan rumus:
Dimana,
H' = Indeks keanekaragaman jenis
ni       = Jumlah individu jenis ke-i
N       = Total individu

Bila nilai H’ < 1 berarti keanekaragaman rendah
Bila nilai H’ 1-3 berarti keanekaragaman sedang
Bila nilai H’ > 3 berarti keanekaragaman tinggi.

3.3.2.      Indeks Kemerataan
Indeks kemerataan jenis ini digunakan untuk mengetahui penyebaran jumlah individu pada tiap jenis organisme. Untuk melihat kemerataan jenis plankton, periphyton dan benthos digunakan dengan rumus:
Dimana,
H` = indeks keanekaragaman
H maks = ln S (jumlah spesies)

Jika nilai E mendekati 0, maka penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak sama atau tidak merata
Jika nilai E mendekati 1, maka penyebaran individu tiap jenis merata
3.3.3.      Kekayaan jenis
Untuk melihat kemerataan jenis plankton, periphyton dan benthos digunakan dengan rumus:
Dimana,
S = Jumlah total spesies
N = Jumlah total individu

Jika nilai R < 3.5 maka kekayaan jenis yang tergolong rendah,
Jika nilai R = 3.5 – 5.0 maka kekayaan jenis tergolong sedang,
Jika nilai R > 5.0 maka kekayaan jenis tergolong tinggi.
3.3.4.      Indeks Dominansi Jenis
Untuk melihat ada tidaknya jenis yang mendominasi pada suatu ekosistem dapat dilihat dari nilai indeks dominansi dengan rumus sebagai berikut : 
Dimana,
D = Indeks Dominansi
ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Total individu

Jika nilai D mendekati 0, maka tidak ada jenis yang mendominansi,
Jika nilai D mendekati 1, maka terdapat jenis yang mendominansi perairan tersebut.



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.  Hasil Pengamatan
Tabel 1. Pengukuran DO dengan menggunakan Tritasi Winkler
Ulangan
Kadar DO Pada Stasiun (mg/l)
1
2
3
I
5.58
3.77
5.30
II
5.86
5.17
6.56
Rata-Rata
5.72
4.47
5.93
Tabel 2. Pengukuran DCO dengan menggunakan Tritasi Winkler
Ulangan
Kadar DCO Pada Stasiun (mg/L)
1
2
3
I
8
11
12
II
11
12
18
Rata- rata
9.5
11.5
15
Tabel 3. Pengukuran Faktor Fisika-Kimia Perairan Danau Kampus Bina Widya Universitas Riau
NO.
Parameter
Stasiun
I
II
III
1
Suhu (0C)
28
30
30.5
2
Ph
7.98
6
6
3
O2 terlarut (mg/l)
5.72
4.47
5.93
4
CO2 bebas (mg/l)
9.5
11.5
15
5
Kecerahan (cm)
38
57
72
6
Kedalaman (cm)
55
52
72
Tabel 4. Keanekaragaman Jenis Peryphyton di Perairan Danau Kampus Bina Widya Universitas Riau
No
SPESIES
STASIUN
1
2
3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Anabaena sp
Asterionella sp
Closterium sp
Gloeotrichia sp
Microcystis sp
Navicula sp
Nitzchia sp
Pectinatus sp
Pleurons sp
Spasies A
Spesies B
Spesies C
Spesies D
Spesies E
Spyrogyra sp
Stratostoum sp
Zygnema sp
9
0
12
1
13
0
1
0
0
7
1
0
0
0
6
0
3
0
4
1
0
0
2
33
7
0
11
0
26
1
0
0
13
0
3
9
10
1
0
5
2
12
1
0
4
0
3
0
1
3
1
Total
53
98
55
Tabel 5. Pengukuran Faktor Biologi Periphyton
No.
Karakteristik Komunitas
STASIUN
1
2
3
1
2
3
4
Keanekaragaman (H)
Kemerataan (E)
Kekayaan Jenis  (R)
Dominasi (D)
1.88
0.86
2.01
0.17
1.72
0.78
8.78
0.22
2.23
0.87
2.99
0.13
Tabel 6. Keanekaragaman Jenis Plankton di Perairan Danau Kampus Bina Widya Universitas Riau
No
Spesies
Stasiun
1
2
3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Anabaena sp
Asterionella sp
Bosmina sp
Closterium sp
Copepoda sp
Diaphanosoma sp
Gloetrichia sp
Microcytis sp
Navicula sp
Nitzchia sp
Pectinatus sp
Pleurons sp
Richteriella sp
Spasies A
Spesies B
Spesies C
Spesies D
Spesies E
Spesies F
Spesies G
Spesies H
Spesies I
Spesies J
Spyrogyra sp
Stratostoum sp
Zygnema sp
1
2
0
7
1
2
0
0
9
4
0
0
1
3
0
6
0
0
1
0
0
0
0
0
5
2
0
7
0
28
0
0
0
0
11
52
0
0
1
9
0
15
0
0
3
0
2
1
3
0
30
3
3
16
1
8
0
0
0
1
8
28
0
0
4
17
0
3
0
0
6
0
8
0
0
3
50
11
Total
44
165
167
Tabel 7. Pengukuran Faktor Biologi Plankton
No.
Karakteristik Komunitas
STASIUN
1
2
3
1
2
3
4
Keanekaragaman (H)
Kemerataan (E)
Kekayaan Jenis  (R)
Dominasi (D)
2.30
0.90
3.17
0.12
2.00
0.78
2.35
0.18
2.22
0.82
2.74
0.15
Tabel 8. Keanekaragaman Jenis Benthos di Perairan Danau Kampus Bina Widya Universitas Riau
No.
Spesies
Stasiun
1
2
3
1
2
3
4
5
Cacing putih
Cyronomus sp
Spesies A
Spesies B
Spesies C
2
2
1
3
0
0
2
0
0
1
0
1
0
0
0
Total
8
3
1
 Tabel 9. Pengukuran Faktor Biologi Benthos
No.
Karakteristik Komunitas
Stasiun
1
2
3
1
2
3
4
Keanekaragaman (H)
Kemerataan (E)
Kekayaan Jenis  (R)
Dominasi (D)
1.32
0.95
1.44
0.28
0.64
0.92
0.91
0.56
0
0
0
1

4.2.  Pembahasan
4.2.1. Faktor Fisika Perairan Danau Kampus Bina Widya Universitas Riau
4.2.1.1.     Suhu
Pada pengamatan yang telah dilakukan, terdapat sedikit perbedaan suhu pada setiap stasiun. Hal ini dikarenakan pada stasiun 1, terdapat banyak pohon di pengggirannya, sehingga penetrasi cahaya matahari ke perairan akan terhalang yang menyebabkan suhu di stasiun 1 lebih kecil dibandingkan dengan stasiun 2 dan 3.

4.2.2.1.     Derajat Keasaman air (pH)
Nilai pH di Perairan Danau Kampus Binawidya Universitas Riau selama penelitian berkisar antara 6 - 7,89. Menurut Effendi (2003), kisaran nilai tersebut termasuk dalam perairan alami.  Berdasarkan hasil pengamatan, nilai pH yang didapat tidak menunjukkan perbedaan yang cukup besar.  Besarnya nilai pH sangat menentukan dominansi fitoplankton di perairan.  Kisaran pH tersebut menurut Effendi (2003) masih berada pada kisaran nilai yang baik untuk kehidupan biota perairan. Pada umumnya alga biru hidup pada pH netral sampai basa dan respon pertumbuhan negatif terhadap asam (pH<6) dan diatom pada kisaran pH yang netral akan mendukung keanekaragaman jenisnya (Weitzel 1979).

4.2.3.1.     Derajat Kecerahan dan Kedalaman air
Berdasarkan pengamatan, didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan derajat kecerahan di setiap stasiun. Dimana pada stasiun 3 memiliki derajat kecerahan lebih tinggi dibanding dengan stasiun 1 dan 2. Berdasarkan teori, semakin dalam suatu perairan, maka akan semakin tinggi tingkat kecerahannya. Namun, pada praktikum ini, terdapat sedikit perbedaan, dimana kedalaman pada stasiun 2 lebih dangkal dibanding stasiun 1. Sedangkan tingkat kecerahan stasiun 2 lebih tinggi dibanding stasiun 1. Hal ini tentu saja berbeda dengan teori yang ada. Namun, hal ini diduga karena adanya kesalahan pada waktu mengukur kedalaman danau dan derajat kecerahan air.
4.2.2. Faktor Kimia Perairan Danau Kampus Bina Widya Universitas Riau
4.2.2.1.     Kadar O2 terlarut
Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan hasil bahwa stasiun 3 memiliki kadar O2 terlarut lebih banyak di banding stasiun 1 dan 2. Hal ini dikarenakan pada stasiun 3 terdapat banyak jumlah fitoplankton yang merupakan produsen pada ekosistem danau.
4.2.2.2.     Kadar CO2 bebas-terlarut
Dari data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa kadar CO2 bebas-terlarut pada stasiun 3 lebih tinggi dibanding stasiun 1 dan 2.

4.2.3. Pencuplikan Biota Hewan di Perairan Danau Kampus Bina Widya Universitas Riau
4.2.3.1.     Periphyton
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa adanya perbedaan adelam setiap karakteristik komunitasnya, baik dilihat dari segi keanekaraman jenis periphyton, kemerataan, kekayaan jenis, maupun dominasinya.
Untuk keanekaragaman jenis pada setiap stasiun, termasuk dalam kategori keanekaragaman tingkat sedang. Karena berdasarkan indeks keaneragaman yang dihitung, didapatkan hasil pada stasiun 1,2, dan 3 adalah sekitar 1,72-2,23.
Sedangkan untuk kemerataannya, ketiga stasiun ini termasuk dalam golongan yang merata, karena nilai dari indeks kemerataan setiap stasiun mendekati 1.
Untuk kekayaan jenis, stasiun 2 merupakan stasiun dengan tingkat kekayaan jenis yang paling tinggi, yaitu mencapai 8,78. Sedangan untuk stasiun 1 dan 3 tergolong stasiun dengan tingkat kekayaan jenis paling rendah, karena nilai indeks kekayaan jenisnya kurang dari 3,5.
Begitu juga untuk dominasi, ketiga stasiun ini tergolong kedalam stasiun dengan tidak adanya hewan yang mendominansi, karena indeks dominasinya mendekati nol.

4.2.3.2.     Plankton
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa adanya perbedaan dalam setiap karakteristik komunitasnya, baik dilihat dari segi keanekaraman jenis plankton, kemerataan, kekayaan jenis, maupun dominasinya.
Untuk keanekaragaman jenis pada setiap stasiun, termasuk dalam kategori keanekaragaman tingkat sedang. Karena berdasarkan indeks keaneragaman yang dihitung, didapatkan hasil pada stasiun 1,2, dan 3 adalah sekitar 2,00-2,30.
Sedangkan untuk kemerataannya, ketiga stasiun ini termasuk dalam golongan yang merata, karena nilai dari indeks kemerataan setiap stasiun mendekati 1.
Begitu juga untuk kekayaan jenis, ketiga stasiun tergolong stasiun dengan tingkat kekayaan jenis paling rendah, karena nilai indeks kekayaan jenisnya kurang dari 3,5.
Dan untuk dominasi, ketiga stasiun ini tergolong kedalam stasiun dengan tidak adanya hewan yang mendominansi, karena indeks dominasinya mendekati nol.
4.2.3.3.     Benthos
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa adanya perbedaan dalam setiap karakteristik komunitasnya, baik dilihat dari segi keanekaraman jenis benthos, kemerataan, kekayaan jenis, maupun dominasinya.
Untuk keanekaragaman jenis pada stasiun 2 dan 3 , termasuk dalam kategori keanekaragaman tingkat rendah, karena berdasarkan indeks keaneragaman yang dihitung, didapatkan hasil kurang dari 1. Sedangkan untuk stasiun 1 termasuk dalam kategori dengan tingkat sedang, karena indeks keaneragaman lebih dari 1.
Sedangkan untuk kemerataannya, pada stasiun 1 dan 2 termasuk dalam golongan yang merata, karena nilai dari indeks kemerataan setiap stasiun mendekati 1.
Begitu juga untuk kekayaan jenis, ketiga stasiun tergolong stasiun dengan tingkat kekayaan jenis paling rendah, karena nilai indeks kekayaan jenisnya kurang dari 3,5.
Dan untuk dominasi, ketiga stasiun ini tergolong kedalam stasiun dengan tidak adanya hewan yang mendominansi, karena indeks dominasinya mendekati nol.






BAB V
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat dari hasil dan pembahasan, adalah:
1)        Yang merupakan contoh faktor fisika dari lingkungan akuatik adalah suhu, derajat kecerahan, derajat keasaman (pH), dan kedalaman danau.
2)        Faktor kimia lingungan akuatik adalah kadar O2 terlarut dan kadar CO2 bebas-terlarut
3)        Faktor fisika-kimia di lingkungan akuatik sangat memiliki pengaruh terhadap kehidupan organisme di dalamnya. Misalnya semakin tinggi tingkat kecerahan, maka semakin banyak komposisi jenis yang ditemukan.
4)        Berdasarian cara hidupny, biota hewan akuatik dibedakan menjadi Plankton, Periphyton, Benthos, Nekton, dan Neuston.
5)        Plankton merupakan organisme yang melayang-layang di dalam air dan gerakannya kurang lebih tergantung pada arus. Beberapa organisme zooplankton ada yang menunjukan gerakan berenang yang aktif yang membantu mempertahankan posisi vertikal.
6)        Benthos merupakan organisme yang melekat atau sedang beristirahat pada dasar perairan atau yang hidup di dalam sedimen di dasar perairan.
7)        Periphyton merupakan organisme baik hewan atau tumbuhan yang melekat di dalam air atau permukaan lain yang ada di atas dasar perairan.
8)        Nekton merupakan organisme yang mampu berenang serta dapat menentukan arah sesuai dengan kehendak, dengan demikian dapat menghindari diri dari penangkapan atau memburu mangsa.
9)        Neuston merupakan organisme yang berenang atau sedang beristirahat di permukaan air


DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2012. http://www.crayonpedia.org/mw/BAB_X_EKOSISTEM DAN_KONSERVASI. diakses tanggal 24 Februari 2012
Anonymous. 2012. http://ostracion.blogspot.com/2010/04/bentos.html. diakses tanggal 24 Februari 2012
Barus, T.A., 2002. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia,
Jakarta.
______, 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.  USU Press. Medan
Brotowidjoyo, M. D. 1993. Zoologi Dasar. Cetakan Kedua. Jakarta: Erlangga
Charton, B dan J. Tietjen. 1989. Seas and Oceans. Collin. Glassglow and London.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut ; Aset Pembangunan Berkelanjutan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Periaran. Kanisius: Yogyakarta
Krebs, C. J. 1985. Ecology Experimental Analysis of Distribution Abudance.  Philadelphia: Harper & Row Publisher.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta
Odum, E. P. 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. W. B. Sounder Co. Philadelphia
Reynolds, C. S. 1984. The Ecology of Freshwater Phytoplankton. Cambridge University Press. Cambridge
Weitzel, R. L. 1979. Methods and Measuremants of Perifiton Communities: A Review American Society for Testing and Materials. Philadelphia
Welch, P. S. 1952. Limnology. Second edition. McGraw Hill International BookCompany. New York
Whitton, B. A. 1975. River Ecology. Blackwell Scientific Publications. Oxford. London

my signature