BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di alam terdapat berbagai
komponen hayati dan non-hayati yang saling mempenagruhi dan tidak terpisahkan
satu sama lain. Komponen-komponen tersebut membentuk suatu sistem ekologi atau
ekosistem. Dalam sistem ekologi, suatu organisme tidak dapat berdiri sendiri.
Untuk kelangsungan hidupnya, suatu organisme akan bergantung pada kehadiran
organisme lain dan sumber daya alam di sekitarnya.
Di ekosistem perairan
terdapat berbagai jenis biota akuatik. Mereka selalu hidup berkelompok
membentuk komunitas yang saling berhubungan secara kompleks dan memiliki respon
yang berbeda terhadap lingkungan. Biota akuatik merupakan kelompok biota, baik
hewan maupun tumbuhan yang sebagian atau seluruh hidupnya berada di perairan.
Jika kita ingin mencari suatu spesies
hewani tertentu, maka kita harus mengetahui tempat hidupnya. Khususnya spesies
yang hidup di perairan dapat digolongkan menurut bentuk kehidupan atau
kebiasaan hidupnya, yaitu: Plankton,
organisme yang melayang-layang di dalam air dan gerakannya kurang lebih
tergantung pada arus. Beberapa organisme zooplankton ada yang menunjukan
gerakan berenang yang aktif yang membantu mempertahankan posisi vertikal. Benthos : organisme yang melekat atau
sedang beristirahat pada dasar perairan atau yang hidup di dalam sedimen di
dasar perairan. Periphyton :
organisme baik hewan atau tumbuhan yang melekat di dalam air atau permukaan
lain yang ada di atas dasar perairan. Nekton
: organisme yang mampu berenang serta dapat menentukan arah sesuai dengan
kehendak, dengan demikian dapat menghindari diri dari penangkapan atau memburu
mangsa. Neuston : organisme yang
berenang atau sedang beristirahat di permukaan air (Suwondo, 2012).
Berdasarkan latar belakang diatas,
mengingat pentingnya peranan biota perairan dalam kelangsungan hidup dan
keseimbangan ekosistem perairan maka dilakukan kegiatan praktikum lapangan
tentang “Pengukuran Faktor Fisika- Kimia
dan Pencuplikan Biota Hewan Aquatik di Danau Kampus Binawidya Universitas Riau”.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah
keadaan faktor fisika dan kimia air di perairan Danau Kampus Binawidya
Universitas Riau?
2. Bagaimanakah
struktur komunitas biota air Danau Kampus Binawidya Universitas Riau?
1.3. Tujuan
1. Untuk
mengetahui faktor fisika- kimia lingkungan akuatik Danau Kampus Binawidya
Universitas Riau.
2. Untuk
mengetahui struktur komunitas biota air Danau Kampus Binawidya Universitas
Riau.
1.4. Manfaat
1. Memberikan
pengetahuan bagi penulis untuk melakukan pengukuran faktor fisika dan kimia.
2. Memberikan
pengetahuan untuk melakukan pencuplikan biota air
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Faktor Fisika-Kimia di Lingkungan Akuatik
Faktor yang menentukan distribusi dari biota
air adalah sifat fisik-kimia perairan. Organisme yang cocok dengan kondisi
sifat fisik-kimia tersebutlah yang akan mampu bertahan hidup (Krebs, 1978).
Penyebaran jenis dan hewan akuatik ditentukan oleh kualitas lingkungan yang ada
seperti sifat fisika, kimia, biologisnya (Odum, 1971). Whitton (1975) menambahkan
bahwa kehidupan ikan disuatu perairan dipengaruhi oleh volume air mengalir,
kecepatan arus, temperatur, pH dan konsentrasi oksigen terlarut. Faktor yang
membedakan kondisi fisika-kimia dari setiap bagian perairan terdiri dari:
2.1.1. Suhu
Suhu air merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian
karena dapat dimanfaatkan untuk mengkaji gejala-gejala fisika dalam laut dan
juga dalam kaitannya dalam kehidupan hewan, bahkan juga untuk kajian
meteorology. Suhu air di permukaan laut di Indonesia umumnya berkisar 23 - 31°
C. Suhu air di pantai biasanya sedikit lebih tinggi dibandingkan suhu di lepas
pantai. Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh curah hujan, penguapan,
kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari
(Nontji, 1993).
Pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini
disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas didalam air serta semua
aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem airsangat dipengaruhi oleh
temperatur. Menurut hukum Van’t Hoffs kenaikan temperatur sebesar 10 oC
(hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan laju
metabolisme dari organisma sebesar 2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju
metabolisma akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat (Barus, 2004).
Suhu perairan
dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang masuk kedalam air. Suhu selain
berpengaruh terhadap berat jenis, viskositas dan densitas air, juga berpengaruh
terhadap kelarutan gas dan unsur-unsur dalam air. Sedangkan perubahan suhu
dalam kolom air akan menimbulkan arus secara vertikal. Secara langsung maupun
tidak langsung, suhu berperan dalam ekologi dan distribusi plankton baik
fitoplankton maupun zooplankton. Suhu mempunyai efek langsung dan tidak
langsung terhadap fitoplankton. Efek langsung yaitu toleransi organisme
terhadap keadaan suhu, sedangkan efek tidak langsung yaitu melalui lingkungan
misalnya dengan kenaikan suhu air sampai batas tertentu akan menurunkan
kelarutan oksigen (Apridayanti, 2008).
2.1.2. Derajat Keasaman air (pH)
Derajat keasaman berpengaruh sangat besar
terhadap kehidupan hewan dan tumbuhan air serta mempengaruhi toksisitas suatu
senyawa kimia (Effendi, 2003). Kondisi perairan yang bersifat sangat asam
maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan
terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi serta dapat meningkatkan
konsentrasi ammonia yang bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2002).
2.1.3. Derajat Kecerahan Air
Penetrasi cahaya sering kali dihalangi oleh
zat yang terlarut dalam air karena sifat air di estuari mengandung sejumlah
besar partikel dalam suspensi yang sering di sebut dengan kekeruhan. Perairan
estuari yang kekeruhannya tinggi, produktivitasnya akan rendah. Hal ini
mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis karena penetrasi cahaya matahari
terhalang oleh partikel-partikel yang disebabkan oleh kekeruhan tersebut.
Terganggunya proses fotosintesis menyebabkan fungsi utama fitoplankton sebagai
produsen primer, pangkal rantai makanan dan fundamen yang mendukung kehidupan seluruh
biota di estuari menjadi terganggu, sehingga kehidupan seluruh biota juga akan
terancam (Nontji, 1993).
2.1.4. Penentuan Kadar O2 terlarut
Pada perairan yang terbuka, oksigen terlarut berada pada
kondisi alami, sehingga jarang dijumpai kondisi perairan terbuka yang miskin
oksigen. Walaupun pada kondisi terbuka, kandungan oksigen perairan tidak sama
dan bervariasi berdasarkan siklus, tempat dan musim. Kadar oksigen terlarut
juga berfluktuasi secara harian, musiman, pencampuran massa air, pergerakan
massa air, aktifitas fotosintesa, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air
(Effendi, 2003).
Variasi oksigen terlarut dalam
air biasanya sangat kecil sehingga tidak menggangu kehidupan ikan (Brotowidjoyo, 1993). Keberadaan oksigen di
perairan sangat penting terkait dengan berbagai proses kimia biologi perairan.
Oksigen diperlukan dalam proses oksidasi berbagai senyawa kimia dan respirasi
berbagai organisme perairan (Dahuri, 2004).
2.1.5. Penentuan Kadar CO2 bebas-terlarut
Oksigen merupakan
faktor penting bagi kehidupan makro dan mikro organisme perairan karena
diperlukan untuk proses pernafasan. Sumber oksigen terlarut di perairan dapat
berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer (sekitar 35%) dan
aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Fluktuasi harian
oksigen dapat mempengaruhi parameter kimia yang lain, terutama pada saat
kondisi tanpa oksigen, yang dapat mengakibatkan perubahan sifat kelarutan
beberapa unsur kimia di perairan (Apridayanti, 2008).
2.2. Pencuplikan Biota Hewan di Lingkungan Akuatik
Ekosistem
perairan tergenang adalah suatu ekosistem yang pada umumnya terdiri dari air
tawar, dengan arus yang hanya sedikit atau bahkan tidak ada. Ekosistem ini
memiliki residence time lebih besar daripada air mengalir. Air tergenang atau
habitat lentik (berasal dari kata lenir yang berarti tenang) (Odum 1971).
Pada
ekosistem ini, karena memiliki residence time besar maka lumpur dan materi yang
lepas cenderung mengendap didasar, sehingga dasarnya lunak (Odum 1971). Semakin
ke tengah, bagian dasarnya semakin lunak/lembut, sehingga perairan tergenang
mempunyai batasan yang jelas yaitu batas perairan, pinggir perairan, permukaan
air, dan endapan bawah ataupun sifat dasar perairan yang dapat berupa batuan,
kerikil, ataupun lumpur.
Perairan
tergenang (lentik), khususnya danau, mengalami stratifikasi secara vertikal
akibat perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu. Selain itu, danau juga
tidak memiliki arus, sehingga residence time-nya lebih lama. Perairan tergenang
juga memiliki stratifikasi kualitas air secara vertikal yang tergantung pada
kedalaman dan musim. Zonase perairan tergenang terbagi menjadi dua, yaitu zona
benthos dan zona kolom air. Berdasarkan tingkat kesuburannya, perairan
tergenang dapat dibedakan menjadi oligotrofik (miskin hara), mesotrofik
(haranya sedang), eutrofik (kaya unsur hara) (Effendi 2003).
Berdasarkan
kebiasaan hidupnya, biota akuatik dibedakan menjadi:
a) Plankton, yaitu hewan atau tumbuhan (mikroorganisme)
yang hidup melayang-layang dalam air. Plankton terdiri atas fitoplankton dan
zooplankton. Fitoplankton contohnya: alga mikroskopis (Chlorophyccae, Cyanophyceae,
Diatomae), sedangkan zooplankton contohnya: Protozoa serta hewanhewan lain
golongan Porifera, Coelenterata, Crustacea, dan lain-lain.
b) Nekton, yaitu hewan-hewan yang aktif berenang kian
kemari umpama ikan, amfibi dan serangga air.
c) Neuston, yaitu jenis hewan yang beristirahat atau
berenang di permukaan air. Contohnya: beberapa jenis insekta yang berenang di
dalam atau di permukaan air.
d) Perifiton, yaitu baik tumbuhan maupun hewan yang
melekat atau bertengger pada batang, daun, akar tumbuhan ataupada permukaan
benda lain. Contohnya: hydra, ganggang dan tiram.
e) Bentos, yaitu hewan-hewan yang melekat atau
beristirahat pada dasar atau hidup pada endapan. Contohnya: siput, kerang, dan
cacing. (Anonymous, 2012)
2.2.1. Plankton
Secara
sederhana plankton diartikan sebagai hewan dan tumbuhan renik yang terhanyut di
laut. Nama plankton berasal dari akar
kata Yunani “planet” yang berarti pengembara. Istilah plankton pertama kali diterapkan
untuk organisme di laut oleh Victor Hensen direktur Ekspedisi Jerman pada tahun
1889 (Charton dan Tietjin, 1989).
Plankton
terdiri dari dua kelompok besar organisme akuatik yang berbeda yaitu organisme
fotosintetik atau fitoplankton dan organisme non fotosintetik atau zooplankton.
2.2.1.1. Fitoplankton
Fitoplankton
adalah organisme yang hidup melayang-layang di dalam air, relatif tidak
memiliki daya gerak, sehingga eksistensinya sangat dipengaruhi oleh gerakan air
seperti arus, dan lain-lain (Odum 1971). Menurut Reynolds (1984), fitoplankton yang
hidup di air tawar terdiri dari tujuh kelompok besar filum, yaitu: Cyanophyta
(alga biru), Cryptophyta, Chlorophyta (alga hijau), Chrysophyta, Pyrrhophyta
(dinoflagellates), Raphydophyta, dan Euglenophyta.
Setiap
jenis fitoplankton yang berbeda dalam kelompok filum tersebut mempunyai respon
yang berbeda-beda terhadap kondisi perairan, sehingga 9 komposisi jenis
fitoplankton bervariasi dari satu tempat ke tempat lain (Welch, 1952).
Menurut
Welch (1952), plankton air tawar dibedakan menjadi limnoplankton dan
rheoplankton. Limnoplankton adalah
plankton yang hidup di perairan tergenang, sedangkan rheoplankton adalah
plankton yang hidup di perairan mengalir. Beberapa faktor yang mempengaruhi
distribusi kelimpahan fitoplankton dalam suatu perairan adalah arus, kandungan
unsur hara, predator, suhu, kecerahan, kekeruhan, pH, gas-gas terlarut, maupun kompetitor.
2.2.1.2. Zooplankton
Zooplankton
merupakan plankton hewani yang terhanyut secara pasif karena terbatasnya
kempuan bergerak. Berbeda dengan fitoplankton , zooplankton hampir meliputi
seluruh filum hewan mulai dari protozoa (hewan bersel tunggal) sampai filum
Chordata (hewan bertulang belakang).
2.2.2. Periphyton
Perifiton
adalah komunitas organisme yang hidup di atas atau sekitar substrat yang
tenggelam. Substrat tersebut dapat
berupa batu-batuan, kayu, tumbuhan air yang tenggelam, dan kadangkala pada
hewan air (Odum 1971).
Menurut
Weitzel (1979), perifiton terdiri dari mikroflora yang tumbuh pada semua
substrat tenggelam. Pada umumnya
perifiton di perairan mengalir terdiri dari diatom, (Bacillariophyceae), alga
biru berfilamen (Myxophyceae), alga hijau berfilamen (Chlorophyceae), bakteri
atau jamur berfilamen, protozoa, dan rotifera (tidak banyak pada perairan tidak
tercemar), serta beberapa jenis serangga (Welch 1952). Berdasarkan tipe substrat tempat menempelnya, perifiton dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Epilithic,
perifiton yang menempel pada batu.
b) Epipelic,
perifiton yang menempel pada permukaan sedimen.
c) Epiphytic,
perifiton yang menempel atau hidup pada permukaan daun atau batang tumbuhan.
d) Epizoic,
perifiton yang menempel pada permukaan tubuh hewan.
e) Epidendritic,
perifiton yang menempel pada kayu.
f) Epipsamic,
perifiton yang menempel pada permukaan pasir
2.2.3. Benthos
Bentos adalah organisme yang hidup di dasar perairan
(substrat) baik yang
sesil, merayap maupun menggali lubang. Bentos
hidup di pasir, lumpur, batuan, patahan karang atau karang yang
sudah mati. Substrat perairan dan kedalaman mempengaruhi pola
penyebaran dan morfologi fungsional serta tingkah laku hewan bentik.Hal
tersebut berkaitan dengan karakteristik serta jenis makanan bentos.
Organisme
yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda,
Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida. Klasifikasi benthos menurut
ukurannya : Makrobenthos merupakan benthos yang memiliki ukuran lebih besar
dari 1 mm (0.04 inch), contohnya cacing, pelecypod, anthozoa, echinodermata,
sponge, ascidian, and crustacea. Meiobenthos merupakan benthos yang memiliki
ukuran antara 0.1 - 1 mm, contohnya polychaete, pelecypoda, copepoda,
ostracoda, cumaceans, nematoda, turbellaria, dan foraminifera. Mikrobenthos
merupakan benthos yang memiliki ukuran lebih kecil dari 0.1 mm, contohnya
bacteri, diatom, ciliata, amoeba, dan flagellata (Anonymous, 2012).
BAB
III
METODE PENELITIAN
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Kegiatan
survey lapangan ini dilakukan pada 04 April 2012 di Danau Kampus
Binawidya Universitas Riau dan sampel yang ditemukan diidentifikasi di
Laboratorium Pendidikan Biologi Universitas Riau.
3.2. Metode Penelitian
3.2.1. Pengumpulan Data
A. Alat
dan Bahan
1.
Faktor
fisika
a. Pengukuran
Suhu Air
1)
Termometer
2)
Botol cuplikan/botol
film
b. Pengukuran
Derajat Keasaman (pH) Air
1)
Kertas
indicator universal dengan loncatan skala kecil 0,2 atau 0,5
c. Pengukuran
Derajat Kecerahan Air
1)
Keping
Secchi, yang merupakan suatu alat berupa kepingan bulat yang terbuat dari logam
atau plexxing glass yang bagian atasnya terdiri dari 4 sektor yang sama,
berwarna putih dan hitam selang- seling.
2.
Faktor
Kimia
a. Penentuan
Kadar Oksigen Terlarut
1)
DO
meter.
b. Penentuan
Kadar CO2 bebas
terlarut
1)
Larutan
NaOH
2)
Indikator
fenolftalein
3.
Struktur
Komunitas Biota Air
a. Plankton
1)
Ember
plastik berukuran 10 liter
2)
Planktonet
no. 25 yang digunakan pada saat penyaringan plankton
3)
Botol
film untuk tempat meletakkan sampel plankton
4)
Mikroskop
5)
Cover
glass
6)
Object
glass
7)
Pipet
tetes
8)
Tissue
9)
Larutan
fornalin 4 % untuk pengawetan sampel plankton.
b. Periphython
1)
Botol
film untuk tempat meletakkan sampel plankton
2)
Mikroskop
3)
Cover
glass
4)
Object
glass
5)
Pipet
tetes
6)
Tissue
7)
Larutan
fornalin 4 % untuk pengawetan sampel periphython.
c. Benthos
1)
Plastik
2 kg untuk tempat meletakkan sampel periphython
2)
Mikroskop
3)
Cover
glass
4)
Object
glass
5)
Pipet
tetes
6)
Tissue
7)
Larutan
fornalin 4 % untuk pengawetan sampel benthos.
B. Prosedur
Penelitian
Adapun jenis metode yang dipakai dalam
praktikum ini adalah metode survey, yang mana data yang didapat diperoleh
langsung dari lapangan.
C. Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel
Penentuan
lokasi pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive random sampling,
yaitu penetapan stasiun didasarkan atas perkiraan aktifitas yang terdapat
sepanjang Danau Kampus Binawidya Universitas Riau. Lokasi pengambilan sampel
ditetapkan menjadi 3 stasiun pada masing-masing stasiun ditentukan tiga titik
pengambilan sampel yaitu di ujung danau, pertengahan dan bagian pangkal.
3.2.2. Parameter
Adapun yang menjadi parameter pada pencuplikan hewan
biota di lingkungan akuatik adalah:
1)
Keanekaragaman
2)
Kemerataan
3)
Kekayaan jenis
4)
Dominansi
Sedangkan yang menjadi parameter pada
pengukuran faktor fisika-kimia adalah:
1)
Suhu
2)
pH
3)
Kecerahan
air
4)
Kadar
O2
5)
Kadar
CO2
3.3. Analisis Data
3.3.1.
Indeks Keanekaragaman Jenis
Untuk melihat keanekaragaman
jenis plankton, periphyton dan benthos digunakan indeks keanekaragaman dengan
rumus:
Dimana,
H' = Indeks keanekaragaman jenis
ni =
Jumlah individu jenis ke-i
N =
Total individu
Bila nilai H’ < 1 berarti
keanekaragaman rendah
Bila nilai H’ 1-3 berarti
keanekaragaman sedang
Bila nilai H’ > 3 berarti
keanekaragaman tinggi.
3.3.2. Indeks Kemerataan
Indeks kemerataan jenis
ini digunakan untuk mengetahui penyebaran jumlah individu pada tiap jenis
organisme. Untuk melihat kemerataan jenis plankton, periphyton dan
benthos digunakan dengan rumus:
Dimana,
H` = indeks keanekaragaman
H maks = ln S (jumlah
spesies)
Jika
nilai E mendekati 0, maka penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak sama
atau tidak merata
Jika
nilai E mendekati 1, maka penyebaran individu tiap jenis merata
3.3.3.
Kekayaan jenis
Untuk melihat kemerataan jenis plankton, periphyton dan
benthos digunakan dengan rumus:
Dimana,
S = Jumlah total
spesies
N = Jumlah total
individu
Jika nilai R <
3.5 maka kekayaan jenis yang tergolong rendah,
Jika nilai R = 3.5 –
5.0 maka kekayaan jenis tergolong sedang,
Jika nilai R > 5.0 maka kekayaan
jenis tergolong tinggi.
3.3.4.
Indeks Dominansi Jenis
Untuk melihat ada tidaknya jenis yang mendominasi
pada suatu ekosistem dapat dilihat dari nilai indeks dominansi dengan rumus
sebagai berikut :
Dimana,
D = Indeks Dominansi
ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Total individu
Jika nilai D mendekati 0, maka tidak ada jenis yang mendominansi,
Jika nilai D mendekati 1, maka terdapat jenis yang mendominansi perairan tersebut.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan
Tabel
1. Pengukuran DO dengan menggunakan Tritasi Winkler
Ulangan
|
Kadar DO Pada Stasiun (mg/l)
|
||
1
|
2
|
3
|
|
I
|
5.58
|
3.77
|
5.30
|
II
|
5.86
|
5.17
|
6.56
|
Rata-Rata
|
5.72
|
4.47
|
5.93
|
Tabel 2. Pengukuran DCO dengan menggunakan Tritasi
Winkler
Ulangan
|
Kadar DCO Pada Stasiun (mg/L)
|
||
1
|
2
|
3
|
|
I
|
8
|
11
|
12
|
II
|
11
|
12
|
18
|
Rata-
rata
|
9.5
|
11.5
|
15
|
Tabel
3. Pengukuran Faktor Fisika-Kimia Perairan Danau Kampus Bina Widya Universitas
Riau
NO.
|
Parameter
|
Stasiun
|
||
I
|
II
|
III
|
||
1
|
Suhu (0C)
|
28
|
30
|
30.5
|
2
|
Ph
|
7.98
|
6
|
6
|
3
|
O2 terlarut (mg/l)
|
5.72
|
4.47
|
5.93
|
4
|
CO2 bebas (mg/l)
|
9.5
|
11.5
|
15
|
5
|
Kecerahan (cm)
|
38
|
57
|
72
|
6
|
Kedalaman (cm)
|
55
|
52
|
72
|
Tabel 4. Keanekaragaman Jenis Peryphyton di
Perairan Danau Kampus Bina Widya Universitas Riau
No
|
SPESIES
|
STASIUN
|
||
1
|
2
|
3
|
||
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
|
Anabaena sp
Asterionella sp
Closterium sp
Gloeotrichia sp
Microcystis sp
Navicula sp
Nitzchia sp
Pectinatus sp
Pleurons sp
Spasies
A
Spesies
B
Spesies
C
Spesies
D
Spesies
E
Spyrogyra sp
Stratostoum sp
Zygnema sp
|
9
0
12
1
13
0
1
0
0
7
1
0
0
0
6
0
3
|
0
4
1
0
0
2
33
7
0
11
0
26
1
0
0
13
0
|
3
9
10
1
0
5
2
12
1
0
4
0
3
0
1
3
1
|
Total
|
53
|
98
|
55
|
Tabel
5. Pengukuran Faktor Biologi Periphyton
No.
|
Karakteristik Komunitas
|
STASIUN
|
||
1
|
2
|
3
|
||
1
2
3
4
|
Keanekaragaman
(H)
Kemerataan
(E)
Kekayaan
Jenis (R)
Dominasi
(D)
|
1.88
0.86
2.01
0.17
|
1.72
0.78
8.78
0.22
|
2.23
0.87
2.99
0.13
|
Tabel 6.
Keanekaragaman Jenis Plankton di Perairan Danau Kampus
Bina Widya Universitas Riau
No
|
Spesies
|
Stasiun
|
||
1
|
2
|
3
|
||
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
|
Anabaena sp
Asterionella sp
Bosmina sp
Closterium sp
Copepoda sp
Diaphanosoma sp
Gloetrichia sp
Microcytis sp
Navicula sp
Nitzchia sp
Pectinatus sp
Pleurons sp
Richteriella sp
Spasies A
Spesies B
Spesies C
Spesies D
Spesies E
Spesies F
Spesies G
Spesies H
Spesies I
Spesies J
Spyrogyra sp
Stratostoum sp
Zygnema sp
|
1
2
0
7
1
2
0
0
9
4
0
0
1
3
0
6
0
0
1
0
0
0
0
0
5
2
|
0
7
0
28
0
0
0
0
11
52
0
0
1
9
0
15
0
0
3
0
2
1
3
0
30
3
|
3
16
1
8
0
0
0
1
8
28
0
0
4
17
0
3
0
0
6
0
8
0
0
3
50
11
|
Total
|
44
|
165
|
167
|
Tabel 7.
Pengukuran Faktor Biologi Plankton
No.
|
Karakteristik Komunitas
|
STASIUN
|
||
1
|
2
|
3
|
||
1
2
3
4
|
Keanekaragaman
(H)
Kemerataan
(E)
Kekayaan
Jenis (R)
Dominasi
(D)
|
2.30
0.90
3.17
0.12
|
2.00
0.78
2.35
0.18
|
2.22
0.82
2.74
0.15
|
Tabel 8.
Keanekaragaman Jenis Benthos di Perairan Danau Kampus
Bina Widya Universitas Riau
No.
|
Spesies
|
Stasiun
|
||
1
|
2
|
3
|
||
1
2
3
4
5
|
Cacing
putih
Cyronomus sp
Spesies
A
Spesies
B
Spesies
C
|
2
2
1
3
0
|
0
2
0
0
1
|
0
1
0
0
0
|
Total
|
8
|
3
|
1
|
Tabel
9. Pengukuran Faktor Biologi Benthos
No.
|
Karakteristik Komunitas
|
Stasiun
|
||
1
|
2
|
3
|
||
1
2
3
4
|
Keanekaragaman
(H)
Kemerataan
(E)
Kekayaan
Jenis (R)
Dominasi
(D)
|
1.32
0.95
1.44
0.28
|
0.64
0.92
0.91
0.56
|
0
0
0
1
|
4.2. Pembahasan
4.2.1. Faktor Fisika Perairan Danau Kampus Bina Widya Universitas
Riau
4.2.1.1.
Suhu
Pada
pengamatan yang telah dilakukan, terdapat sedikit perbedaan suhu pada setiap
stasiun. Hal ini dikarenakan pada stasiun 1, terdapat banyak pohon di
pengggirannya, sehingga penetrasi cahaya matahari ke perairan akan terhalang
yang menyebabkan suhu di stasiun 1 lebih kecil dibandingkan dengan stasiun 2
dan 3.
4.2.2.1.
Derajat Keasaman air (pH)
Nilai
pH di Perairan Danau Kampus Binawidya Universitas Riau selama penelitian
berkisar antara 6 - 7,89. Menurut Effendi (2003), kisaran nilai tersebut
termasuk dalam perairan alami.
Berdasarkan hasil pengamatan, nilai pH yang didapat tidak menunjukkan
perbedaan yang cukup besar. Besarnya
nilai pH sangat menentukan dominansi fitoplankton di perairan. Kisaran pH tersebut menurut Effendi (2003)
masih berada pada kisaran nilai yang baik untuk kehidupan biota perairan. Pada
umumnya alga biru hidup pada pH netral sampai basa dan respon pertumbuhan
negatif terhadap asam (pH<6) dan diatom pada kisaran pH yang netral akan
mendukung keanekaragaman jenisnya (Weitzel 1979).
4.2.3.1.
Derajat Kecerahan dan Kedalaman air
Berdasarkan pengamatan, didapatkan hasil bahwa terdapat
perbedaan derajat kecerahan di setiap stasiun. Dimana pada stasiun 3 memiliki
derajat kecerahan lebih tinggi dibanding dengan stasiun 1 dan 2. Berdasarkan
teori, semakin dalam suatu perairan, maka akan semakin tinggi tingkat
kecerahannya. Namun, pada praktikum ini, terdapat sedikit perbedaan, dimana
kedalaman pada stasiun 2 lebih dangkal dibanding stasiun 1. Sedangkan tingkat
kecerahan stasiun 2 lebih tinggi dibanding stasiun 1. Hal ini tentu saja
berbeda dengan teori yang ada. Namun, hal ini diduga karena adanya kesalahan
pada waktu mengukur kedalaman danau dan derajat kecerahan air.
4.2.2. Faktor Kimia Perairan Danau Kampus Bina Widya Universitas
Riau
4.2.2.1.
Kadar O2 terlarut
Berdasarkan
hasil pengamatan, didapatkan hasil bahwa stasiun 3 memiliki kadar O2
terlarut lebih banyak di banding stasiun 1 dan 2. Hal ini dikarenakan pada
stasiun 3 terdapat banyak jumlah fitoplankton yang merupakan produsen pada
ekosistem danau.
4.2.2.2.
Kadar CO2 bebas-terlarut
Dari
data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa kadar CO2 bebas-terlarut
pada stasiun 3 lebih tinggi dibanding stasiun 1 dan 2.
4.2.3. Pencuplikan Biota Hewan di Perairan Danau Kampus
Bina Widya Universitas Riau
4.2.3.1.
Periphyton
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa adanya
perbedaan adelam setiap karakteristik komunitasnya, baik dilihat dari segi
keanekaraman jenis periphyton, kemerataan, kekayaan jenis, maupun dominasinya.
Untuk keanekaragaman jenis pada setiap stasiun, termasuk dalam kategori
keanekaragaman tingkat sedang. Karena berdasarkan indeks keaneragaman yang
dihitung, didapatkan hasil pada stasiun 1,2, dan 3 adalah sekitar 1,72-2,23.
Sedangkan untuk kemerataannya, ketiga stasiun ini termasuk dalam
golongan yang merata, karena nilai dari indeks kemerataan setiap stasiun
mendekati 1.
Untuk kekayaan jenis, stasiun 2 merupakan stasiun dengan tingkat
kekayaan jenis yang paling tinggi, yaitu mencapai 8,78. Sedangan untuk stasiun
1 dan 3 tergolong stasiun dengan tingkat kekayaan jenis paling rendah, karena
nilai indeks kekayaan jenisnya kurang dari 3,5.
Begitu juga untuk dominasi, ketiga stasiun ini tergolong kedalam
stasiun dengan tidak adanya hewan yang mendominansi, karena indeks dominasinya
mendekati nol.
4.2.3.2.
Plankton
Berdasarkan
hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa adanya perbedaan dalam setiap
karakteristik komunitasnya, baik dilihat dari segi keanekaraman jenis plankton,
kemerataan, kekayaan jenis, maupun dominasinya.
Untuk
keanekaragaman jenis pada setiap stasiun, termasuk dalam kategori
keanekaragaman tingkat sedang. Karena berdasarkan indeks keaneragaman yang
dihitung, didapatkan hasil pada stasiun 1,2, dan 3 adalah sekitar 2,00-2,30.
Sedangkan
untuk kemerataannya, ketiga stasiun ini termasuk dalam golongan yang merata,
karena nilai dari indeks kemerataan setiap stasiun mendekati 1.
Begitu
juga untuk kekayaan jenis, ketiga stasiun tergolong stasiun dengan tingkat
kekayaan jenis paling rendah, karena nilai indeks kekayaan jenisnya kurang dari
3,5.
Dan untuk
dominasi, ketiga stasiun ini tergolong kedalam stasiun dengan tidak adanya
hewan yang mendominansi, karena indeks dominasinya mendekati nol.
4.2.3.3.
Benthos
Berdasarkan
hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa adanya perbedaan dalam setiap
karakteristik komunitasnya, baik dilihat dari segi keanekaraman jenis benthos,
kemerataan, kekayaan jenis, maupun dominasinya.
Untuk keanekaragaman
jenis pada stasiun 2 dan 3 , termasuk dalam kategori keanekaragaman tingkat rendah,
karena berdasarkan indeks keaneragaman yang dihitung, didapatkan hasil kurang
dari 1. Sedangkan untuk stasiun 1 termasuk dalam kategori dengan tingkat
sedang, karena indeks keaneragaman lebih dari 1.
Sedangkan
untuk kemerataannya, pada stasiun 1 dan 2 termasuk dalam golongan yang merata,
karena nilai dari indeks kemerataan setiap stasiun mendekati 1.
Begitu
juga untuk kekayaan jenis, ketiga stasiun tergolong stasiun dengan tingkat
kekayaan jenis paling rendah, karena nilai indeks kekayaan jenisnya kurang dari
3,5.
Dan
untuk dominasi, ketiga stasiun ini tergolong kedalam stasiun dengan tidak
adanya hewan yang mendominansi, karena indeks dominasinya mendekati nol.
BAB V
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat dari hasil dan
pembahasan, adalah:
1)
Yang
merupakan contoh faktor fisika dari lingkungan akuatik adalah suhu, derajat kecerahan,
derajat keasaman (pH), dan kedalaman danau.
2)
Faktor
kimia lingungan akuatik adalah kadar O2 terlarut dan kadar CO2
bebas-terlarut
3)
Faktor
fisika-kimia di lingkungan akuatik sangat memiliki pengaruh terhadap kehidupan
organisme di dalamnya. Misalnya semakin tinggi tingkat kecerahan, maka semakin
banyak komposisi jenis yang ditemukan.
4)
Berdasarian
cara hidupny, biota hewan akuatik dibedakan menjadi Plankton, Periphyton, Benthos, Nekton, dan Neuston.
5)
Plankton
merupakan organisme yang melayang-layang di dalam air dan
gerakannya kurang lebih tergantung pada arus. Beberapa organisme zooplankton
ada yang menunjukan gerakan berenang yang aktif yang membantu mempertahankan
posisi vertikal.
6)
Benthos
merupakan organisme yang melekat atau sedang beristirahat pada dasar perairan
atau yang hidup di dalam sedimen di dasar perairan.
7)
Periphyton
merupakan organisme baik hewan atau tumbuhan yang melekat di dalam air atau
permukaan lain yang ada di atas dasar perairan.
8)
Nekton
merupakan organisme yang mampu berenang serta dapat menentukan arah sesuai
dengan kehendak, dengan demikian dapat menghindari diri dari penangkapan atau
memburu mangsa.
9)
Neuston
merupakan organisme yang berenang atau sedang beristirahat di permukaan air
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2012. http://www.crayonpedia.org/mw/BAB_X_EKOSISTEM
DAN_KONSERVASI. diakses tanggal 24 Februari 2012
Anonymous. 2012. http://ostracion.blogspot.com/2010/04/bentos.html.
diakses tanggal 24 Februari 2012
Barus, T.A., 2002. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT.
Gramedia,
Jakarta.
Jakarta.
______, 2004. Pengantar
Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.
USU Press. Medan
Brotowidjoyo, M. D. 1993.
Zoologi Dasar. Cetakan Kedua. Jakarta: Erlangga
Charton, B dan J. Tietjen.
1989. Seas and Oceans. Collin. Glassglow and London.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut ; Aset Pembangunan
Berkelanjutan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah
Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Periaran. Kanisius:
Yogyakarta
Krebs, C. J. 1985. Ecology
Experimental Analysis of Distribution Abudance.
Philadelphia: Harper & Row Publisher.
Nontji, A. 1993. Laut
Nusantara. Djambatan. Jakarta
Odum, E. P. 1971.
Fundamentals of Ecology. Third Edition. W. B. Sounder Co. Philadelphia
Reynolds, C. S. 1984. The
Ecology of Freshwater Phytoplankton. Cambridge University Press. Cambridge
Weitzel, R. L. 1979. Methods
and Measuremants of Perifiton Communities: A Review American Society for Testing
and Materials. Philadelphia
Welch, P. S. 1952.
Limnology. Second edition. McGraw Hill International BookCompany. New York
Whitton, B. A. 1975. River
Ecology. Blackwell Scientific Publications. Oxford. London
Tidak ada komentar:
Posting Komentar