BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Perkecambahan
merupakan proses pertumbuhan embrio di dalam biji. Di dalam proses
perkecambahan terdapat proses pertumbuhan dan perkembangan, yang mana pertumbuhan
merupakan pertambahan
jumlah sel pada suatu organisme yang diikuti dengan pertambahan berat tubuh dan
perubahan bentuk serta diferensiasi.
Pada
praktikum kali ini, kami ingin melihat pengaruh kinetin terhadap perkecambahan
biji kacang hijau dan biji padi yang mana dilakukan dengan perlakuan yang
berbeda-beda yaitu 0ppm, 10ppm, 20ppm, 30ppm, 40ppm, dan 50ppm. Hal ini
dilakukan untuk membuktikan apakah kinetin bisa mempercepat pembelahan sel dan
juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tunas-tunas serta akar.
1.2
TUJUAN
PRAKTIKUM
Melihat pengaruh kinetin terhadap
perkecambahan biji kacang hijau dan padi.
BAB
II
KAJIAN TEORI
2.1
KAJIAN
TEORI
Perkecambahan
merupakan kejadian yang dimulai dengan imbibsi dan diakhiri dengan radikula
(akar lembaga; atau pada beberapa biji kotiledon/hipokotil) memanjang atau
muncul melewati kulit biji. (Salisbury.
1995)
Perkecambahan
merupakan permulaan kembali pertumbuhan embrio di dalam biji. Yang diperlukan
adalah suhu yang cocok , dan persediaan oksigen yang cukup. Terbuka terhadap
cahaya untuk waktu yang sesuai juga merupakan persyaratan untuk perkecambahan
untuk beberapa kasus. (Kimball. 1983)
Proses pertumbuhan
ini disebabkan adanya pertambahan jumlah sel tumbuhan. Pertambahan jumlah sel
karena adanya peristiwa pembelahan sel meristematik yaitu mitosis. Mitosis
dapat dirangsang oleh hormon kinetin yang merupakan turunan dari sitokinin. Kinetin
adalah suatu hormon sitokonin yang pertama kali ditemukan dalam batang
tembakau. Kinetin ini mempercepat pembelahan sel dan juga berpengaruh terhadap
pertumbuhan tunas-tunas serta akar. (Wilkins.
1992)
Hormon
tumbuhan adalah senyawa organik yang disintesis di salah satu bagian tubuh
tumbuhan dan dipindahkan ke bagian lain, dan pada konsentrasi yang sangat
rendah mampu menimbulkan suatu respon fisiologis. (Salisbury. 1995)
Hormon yang
mengontrol pertumbuhan suatu pertumbuhan dapat juga diartikan juga sebagai zat
organik yang dihasilkan oleh jaringan tertentu dan diedarkan ke jaringan
lainnya sehingga mempengaruhi pertumbuhan tanpa adanya suatu tanaman akan
terhambat, kemudian selanjutnya bekerja melalui suatu cara yang spesifik pada
konsentrasi yang rendah untuk mengatur pertumbuhan, perkecambahan dan
metabolisme. (Dwijoseputro. 1991)
Sebagai
salah satu hormon yang berperan dalam mengatur tumbuhan, sitokinin dan kinetin
merupakan salah satu hormon yang dapat merangsang dan meningkatkan kadar cepat
sintesis protein. Sintesis protein meningkat dengan cara merangsang pembentukan
RNA yang mengkode protein. Pada sel yang mendapat rangsangan ribosom seringkali
berkelompok dalam suatu polisom-polisom yang besar mensintesis protein dan
tidak dalam bentuk polisom yang kecil atau ribosom. Dengan demikian sitokinin
dan kinetin dapat memperlambat proses dan meningkat kadar cepat sintesis
protein. (Sastramihardja. 1996)
Definisi sitokinin dikaitkan dengan
peranan sitokinin dalam merangsang proses pembentukan sitokinesis (pembelahan
sel). Pada jaringan ini sebagaimana halnya pembiakan diri jaringan empelur ke
batang. Sitokinin atau kinetin merupakan jaringan atau senyawa yang merangsang
pembelahan sel. (Lakitan. 2007)
Kinetin mempunyai fungsi utama yaitu dalam hal
pembelahan sel dan pembentukan organ. Dengan bantuan IAA sitokinin atau kinetin
mempercepat pembentukan tumor pada akar, dalam hal ini pembentukan tumor pada
pangkal tangkai daun sehingga mampu melancarkan masukanya air dan zat terlarut
didalamnya untuk kepentingan metabolisme sel. Kinetin dapat merangsang
pembelahan sel dan pembesaran sel pada diskus daun yang layu, perkembangan
kloroplas dan sintesis klorofil, memacu perkembangan lanjut etioplas menjadi
kloroplas khususnya mendorong pembentukan grana, setelah itu kinetin
meningkatkan pembentukan klorofil. Sebagai salah sau hormon yang berperan dalam
mengatur tumbuhan sitokinin dan kinetin merupakan salah satu hormon yang dapat
merangsang dan meningkatkan kadar cepat sintesis protein. Sintesis protein
meningkat dengan cara merangsang pembentukan RNA yang mengkode protein. Dengan
demikian sitokinin dan kinetin dapat memperlambat proses dan meningkat kadar cepat
sintesis protein. (Sasmitamihardja.
1996)
2.2
HIPOTESIS
Adanya pengaruh kinetin
terhadap perkecambahan biji kacang hijau dan padi.
BAB III
METODE
3.1
ALAT
DAN BAHAN
· Alat
·
Cawan petri
·
Kertas saring
·
Gunting
· Bahan
· Larutan
kinetin 0, 10, 20, 30, 40, dan 50 ppm
·
Biji kacang hijau
·
Padi
·
Aquades
3.2
CARA
KERJA
1.
Disiapkan larutan
kinetin 0, 10, 20, 30, 40, dan 50 ppm, masing-masing 60 ml.
2.
Masing-masing
konsentrasi larutan yang bervolume 30 ml dimasukkan ke dalam 6 buah cawan Petri
(setiap cawan Petri berisi 10 ml larutan) dan diberi label.
3.
Dimasukkan kertas
saring ke dalam cawan petri yang telah berisi larutan
4.
Dimasukkan biji
kacang hijau dan padi pada masing-masing cawan petri sebanyak 10 buah.
5.
Hitung persentase
biji yang berkecambah.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
4.1
HASIL
PENGAMATAN
Pengaruh Kinetin terhadap Perkecambahan
Biji Kacang Hijau dan Padi
Larutan Kinetin (ppm)
|
Perkecambahan
|
|||
Kacang Hijau
|
Padi
|
|||
Σ
|
%
|
Σ
|
%
|
|
0
|
H1 = 9 biji mulai berkecambah dengan panjang 1cm
H2 = 10 biji sudah
berkecambah (9 biji= 1,3cm. 1 biji = 0,5cm)
H3 = 10 biji berkecambah (4 biji berkecambah panjang dan
yang lainnya pertumbuhan kecambah pendek)
H4 = 10 biji berkecambah (4 biji berkecambah panjang→1
berpucuk dan yang lainnya pertumbuhan kecambah pendek)
H5 = 10 biji berkecambah (4 biji berkecambah panjang→2
berpucuk dan yang lainnya berkecambah pendek→1 berpucuk)
H6 = 10 biji berkecambah panjang dan 4 yang berpucuk
H7 = semua keadaan masih seperti hari keenam namun,
kecambah mulai kering dan hampir mati
|
90%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
|
H1 = -
H2 = -
H3 = -
H4 = -
H5 = -
H6 = -
H7 = -
|
-
-
-
-
-
-
-
|
10
|
H1 = 10 biji berkecambah dengan panjang rata-rata 1cm
H2 = 10 biji berkecambah dengan panjang 1,5cm
H3 = 10 biji berkecambah (5 biji berkecambah panjang, yang
lainnya berkecambah pendek)
H4 = 10 biji berkecambah (5 biji berkecambah panjang→1
berpucuk, yang lainnya berkecambah pendek)
H5 = 10 biji berkecambah (5 biji berkecambah panjang→2
berpucuk, yang lainnya pertumbuhan kecambah pendek)
H6 = 10 biji berkecambah panjang dan 3 yang berpucuk
H7 = semua keadaan masih seperti hari kelima namun,
kecambah mulai kering dan hampir mati
|
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
|
H1 = -
H2 = -
H3 = -
H4 = -
H5 = -
H6 = -
H7 = -
|
-
-
-
-
-
-
-
|
20
|
H1 = 8 biji berkecambah dengan panjang 1cm
H2 = 9 biji berkecambah (8 biji=1,7cm. 1 biji= 0,5cm)
H3 = 9 biji berkecambah (6 biji berkecambah panjang, 3
berkecambah pendek)
H4 = 9 biji berkecambah (6 biji berkecambah panjang→2
berpucuk, 3 berkecambah pendek)
H5 = 9 biji berkecambah (6 biji berkecambah panjang→3
berpucuk, dan 3 berkecambah pendek)
H6 = 9 biji berkecambah panjang dan 4 berpucuk
H7 = semua keadaan masih seperti hari kelima namun,
kecambah mulai kering dan hampir mati
|
80%
90%
90%
90%
90%
90%
90%
|
H1 = -
H2 = -
H3 = -
H4 = -
H5 = -
H6 = 2
H7 = 2
|
-
-
-
-
-
20%
20%
|
30
|
H1 = 8 biji berkecambah dengan panjang rata-rata 1cm, 2
biji sudah mulai keluar akar
H2 = 10 biji berkecambah (8 biji panjang rata-rata 1,8cm
dan 2 biji panjang rata-rata 0,7cm)
H3 = 10 biji berkecambah, kotiledon belum lepas semua
H4 = 10 biji berkecambah panjang-panjang→1 berpucuk
H5 = 10 biji berkecambah panjang-panjang→3 berpucuk
H6 = 10 biji berkecambah panjang-panjang→8 berpucuk
H7 = semua keadaan masih seperti hari kelima namun,
kecambah mulai kering dan hampir mati
|
80%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
|
H1 = -
H2 = -
H3 = -
H4 = -
H5 = -
H6 = -
H7 = -
|
-
-
-
-
-
-
-
|
40
|
H1 = 9 biji sudah tumbuh akar dan kotiledon pecah
H2 = 9 biji berkecambah
H3 = 9 biji berkecambah (1 biji berkecambah panjang, 8
biji kecambah pendek)
H4 = 9 biji berkecambah (1 biji berkecambah panjang dan
berpucuk, dan 8 biji kecambah pendek→1 berpucuk)
H5 = 9 biji berkecambah (1 biji berkecambah panjang dan
berpucuk, dan 8 biji kecambah pendek→3 berpucuk)
H6 = 9 biji berkecambah (1 biji berkecambah panjang dan
berpucuk, dan 8 biji kecambah pendek→5 berpucuk)
H7 = semua keadaan masih seperti hari keenam namun,
kecambah mulai kering dan hampir mati
|
90%
90%
90%
90%
90%
90%
90%
|
H1 = -
H2 = -
H3 = -
H4 = -
H5 = -
H6 = -
H7 = -
|
-
-
-
-
-
-
-
|
50
|
H1 = 9 biji sudah tumbuh akar dan
kotiledon pecah
H2 = 10 biji berkecambah
H3 = 10 biji berkecambah (4 biji
berkecambah panjang, 6 biji berkecambah pendek)
H4 = 10 biji berkecambah (4 biji berkecambah
panjang→2 telah berpucuk, 6 biji berkecambah pendek)
H5 = 10 biji berkecambah (4 biji jadi
berkecambah panjang→4 telah berpucuk, 5 biji pertumbuhan kecambahnya pendek→2
telah berpucuk, 1 berkecambah sangat pendek)
H6 = 10 biji berkecambah (4 biji jadi
berkecambah panjang→4 telah berpucuk, 6 biji berkecambah pendek→4 telah
berpucuk)
H7 = semua keadaan masih seperti hari
keenam namun, kecambah mulai kering dan hampir mati
|
90%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
|
H1 = -
H2 = -
H3 = -
H4 = -
H5 = -
H6 = -
H7 = 1
|
-
-
-
-
-
-
10%
|
4.2
PEMBAHASAN
Berdasarkan
hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa kinetin berpengaruh pada perkecambahan
biji kacang hijau dan biji padi. Namun, perlakuan dengan konsentrasi larutan kinetin yang berbeda akan
menunjukkan hasil/ jumlah perkecambahan yang berbeda pula. Ini
dapat dibuktikan dengan mengembangnya biji dan keluarnya radikula dari biji kacang
hijau yang berbeda pada perlakuan yang berbeda.
Perkecambahan
merupakan kejadian yang dimulai dengan imbibsi dan diakhiri dengan radikula
(akar lembaga; atau pada beberapa biji kotiledon/hipokotil) memanjang atau
muncul melewati kulit biji. (Salisbury.
1995)
Dari tabel dapat dilihat bahwa hampir
sebagian besar biji kacang hijau mengalami perkecambahan. Namun tidak pada biji
padi. Hal ini dikarenakan biji kacang hijau mengandung banyak protein yang
dapat dilewati air (larutan kinetin), sehingga air mudah masuk ke dalam biji
kacang hijau dan terjadilah proses imbibisi.
Air yang
masuk secara imbibisi akan melunakkan kulit biji dan menyebabkan pengembangan
embrio dan endosperm. (Firdaus, dkk. 2006)
Biji
yang mempunyai kadar protein yang tinggi menyerap lebih cepat sampai tingkat
tertentu dibandingkan dengan biji yang kadar karbohidratnya tinggi atau kadar
minyaknya tinggi. (Firdaus, dkk. 2006)
Sedangkan
pada biji padi, hampir sebagian besar biji padi tidak berkecambah. Hal ini
dapat terjadi diperkirakan karena biji padi memiliki kulit yang tebal dan
sangat keras, sehingga menyulitkan air (larutan kinetin) untuk masuk ke dalam
biji.
Menurut Santoso (1990), Imbibisi air oleh biji menyebabkan berlangsungnya
reaksi kimia sehingga perkecambahan terjadi dengan adanya penembusan radial
kulit biji dan pelepasan posfat dan kation dari vitin juga berlangsung segera setelah
perkecambahan dan sebagian ion diangkut oleh tumbuhan lewat floem.
Salah satu faktor
yang mempengaruhi kecepatan penyerapan air oleh biji adalah Permeabilitas kulit
biji atau membrane biji. Yang mana ada biji yang kulitnya keras dan ada pula
kulit biji yang lunak dan permiabel. (Firdaus, dkk. 2006)
BAB V
KESIMPULAN
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan
percobaan yang dilakukan, didapatkan kesimpulan bahwa:
ü Kinetin
berpengaruh terhadap perkecambahan biji kacang hijau dan biji padi
ü Perlakuan dengan konsentrasi larutan
kinetin yang berbeda akan menunjukkan hasil/ jumlah perkecambahan yang berbeda
pula.
ü
Perkecambahan merupakan permulaan
kembali pertumbuhan embrio di dalam biji.
ü
Proses pertumbuhan disebabkan adanya
pertambahan jumlah sel tumbuhan.
ü
Hormon tumbuhan adalah senyawa organik
yang disintesis di salah satu bagian tubuh tumbuhan dan dipindahkan ke bagian
lain, dan pada konsentrasi yang sangat rendah mampu menimbulkan suatu respon
fisiologis
ü
Kinetin dapat mempercepat pembelahan
sel dan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tunas-tunas serta akar.
DAFTAR PUSTAKA
Dwidjoseputro, 1991. Pengantar fisiologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta
Kimball,
John. 1983. Biologi jilid II edisi ke lima. Erlangga. Jakarta
Lakitan, benyamin. 2007. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja
Grafindo Persada. Jakarta
Salisbury, FB., Ross, CW., 1995 . Fisiologi Tumbuhan Jilid 1. Penerbit
ITB. Bandung
Santoso.
1990. Fisiologi Tumbuhan. UGM Press: Yogyakarta
Sasmitamiharja,
D.,1996. Fisiologi Tumbuhan. Jurusan
PMIPA ITB. Bandung
Wilkins, M.
B. 1992. Fisiologi Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar